How do you define yourself not as a human, but as a part of life?
Can you think of someone, or something, that is down-to-earth?
What does water mean to you? Do you sometimes feel like water? 

If humans do consist of 60% water, do you feel obliged and heavy to not just love yourself, but also love mother nature?

In these modern times, relationships are complicated. Everything is so connected, yet we have become so distanced with nature itself. Popular terms such as “earthing”, “grounding”, even *cough* “glamping” is becoming so overused and wrongfully used. The simplest act of loving yourself, is also at the same time giving some love back to the earth.

Do you consider this relationship with earth important? Let’s just start by trying to know what have you both done so far, together. 

Is it by carefully minding the earth before you eat?
Taking little actions like: 6R (Rethink, Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, Repair), checking product ingredients tags,
de-influencing or green-influencing everyone around you,
or as simple as being aware of what is currently––and actually––happening inside your body, and the nature around? 

These actions, whether it’s big or not, isn’t a due payment, work contract, nor a checklist. Gentle reminder: Everyone has the freedom to define and decide how the current will carry them.

In this exhibition “Alam Asali, Alam Khayali” which roughly means in English: “Back to Earth, Imagining the Future”, we encourage you to explore our complex and troubled relationship with nature using your wildest imaginations! Earth here and now, is not just undergrounds or backgrounds, it’s the main fuel of every life entity, human beings, and a lot of great artworks you are about to see soon. 

So, do you still consider this relationship with earth important? Are you willing to, sustain, keep up to the tempo, feel the rhythm of earth beating alongside you? 

Open your senses, wander around, and be wild!

Cheers,
Azalia Syahputri

//

Spektakel Tentang Batas

Oleh Azalia Syahputri


Binatang hutan di Indonesia adalah makhluk yang serba salah. Salah satu binatang hutan yang paling familiar dengan kita mungkin harimau. Mereka hidup di dalam hutan hujan saat manusia menebang habis hutannya untuk jadi perkebunan kelapa sawit? Salah. Tempat tinggalnya habis lalu pelan-pelan harimau masuk ke pemukiman warga? Salah. Ekosistem nya rusak, rantai makanannya hancur, lalu makin lama punah? Apa harimau akan tetap disalahkan? Abyu Amanda Aldi mengamati gerak-gerik manusia dan binatang hutan dan menorehkan pembacaannya lewat “Side by Side”. 

Dengan goresan krayon dan cat air di kertas, Abyu memetakan siapa yang dibatasi dan kelewat batas. Kontras tekstur goresan dan tokoh-tokoh yang muncul di karya Abyu mengajak kita untuk membaca keadaan saat ini, dimana manusia dan binatang hutan di Indonesia justru sedang adu kekuatan, siapa yang paling kuat untuk mengambil teritorial masing-masing. Manusia yang penuh kecurangan, digambarkan Abyu dengan garis-garis teritorik yang muncul di “Side by Side”, terinspirasi dari mesin-mesin berat yang datang tak diundang. Karya Abyu pada pemaknaannya secara dangkal, mungkin dapat memantik spectacle akan siapa sebenarnya yang menang dan kalah. Namun, mari kita menyeimbangkan diri secara naluriah dan alamiah. Manusia tidak pernah hidup sendiri di Bumi. Kepedulian akan makhluk hidup, prinsip memberi dan diberi selalu digaungkan di segala jenis gawai komunikasi manapun di dunia ini. Dengan prinsip “Side by Side” atau hidup berdampingan, peran apa yang bisa kita ambil untuk hidup dengan seimbang sesuai takaran masing-masing?

//

CPO (Crude Polemik Oil)

Oleh Azalia Syahputri

Sering lihat iklan di TV? Iklan seperti apa yang sampai sekarang lekat di ingatan? Dari seluruh iklan yang pernah kalian lihat, seberapa jujurkah iklan-iklan di TV kebanyakan? 

Kejujuran justru datang dari karya Ary ‘Jimged’ Sendy yang berjudul “Sharing Anxiety”, Jimged berani open up tentang kekhawatiran yang ia punya lewat bentuk yang tidak biasa; iklan. Musik latar bertempo cepat menyambut di detik-detik awal, seakan-akan meminta penonton untuk diam dan perhatikan. Jimged bercerita via dual screen dimana di layar kiri, dua casting director laki-laki sedang mengaudisi beberapa ibu-ibu rumah tangga yang hadir di layar kanan. Dua layar ini dipasang berdampingan  seperti paying homage kepada moda diptych jaman renaisans yang di masa kini sering banyak digunakan dalam fotografi, batu loncatan awal Jimged dalam berkarya. Mendekonstruksi iklan ini menjadi dua layar yang dikonsumsi bersama justru saling merangkai dan mengisi garis-garis diari kosong atas curhatan Jimged.

Apa yang sebenarnya ingin Jimged ceritakan lewat iklan diptik ini? Beberapa tahun belakangan, Jimged mulai menaruh perhatian pada industri kelapa sawit, terutama di Indonesia. Jimged mengakui, sebagai warga negara Indonesia ia awalnya tidak sadar bahwa minyak kelapa sawit (dan industrinya) itu problematis. Ini masih hanya Jimged seorang, bagaimana yang lainnya? 

“The closer you think you are, the less you actually see.”– Now You See Me (dir. Louis Leterrier, 2013)

Mari kita anggap kelapa sawit adalah pesulap penuh tipu daya, dan kita adalah penonton. Untuk mencari celah dan mengetahui tipuannya, mari kita ambil jarak sejenak. Problematika kelapa sawit dan industrinya, adalah permasalahan yang sudah berlapis dan menahun. Kita bisa saja semalam suntuk merangkak dan jatuh ke dalam lubang buaya, namun tik-tok, waktunya semakin menipis. Jimged sadar, pondasi pertama yang harus dibangun adalah kesadaran akan candunya kelapa sawit. Betapa dunia sudah terlanjur bergantung ke kelapa sawit dengan Indonesia mendominasi produksi kelapa sawit untuk dunia. Di tahun 2022, Indonesia adalah negara penghasil minyak kelapa sawit (palm oil) tertinggi dunia, dengan jumlah produksi sebesar 48,24 juta ton. Hampir setengahnya (25,01 juta ton) diekspor keluar dan setengahnya lagi mungkin tidak sadar sudah kita konsumsi terlalu banyak. Pola konsumsi ini menjadi poin kecemasan Jimged selanjutnya : Label daftar bahan di belakang kemasan. Di “Sharing Anxiety”, label ini bagi ibu-ibu rumah tangga seperti gajah di bawah pelupuk mata, seringkali tak tampak. 

“Bagaimana jika barang-barang yang gampang dibeli di supermarket bahan dasarnya adalah 50% minyak kelapa sawit?” Jimged lewat “casting director” bayangannya, menyerukan kecemasannya. Tidak salah jika Jimged khawatir terhadap mayoritas bahan kebutuhan rumah tangga sehari-hari diisi oleh minyak kelapa sawit. Kelapa sawit dengan versatilitasnya rentan dimanfaatkan. Bagi industri minyak, ia low-maintenance, biaya produksi rendah sehingga harga jualnya rendah, dan kebetulan per tahun 2023 kebanyakan masih hanya bisa ditanam di hutan-hutan negara berkembang yang regulasinya gampang diterobos. Dibalik kerentanannya, adakah manfaat minyak sawit yang bisa kita dapatkan? Menariknya, di tahun 2022 ekspor minyak sawit di Indonesia menurun, dikarenakan konsumsi dalam negeri bertambah. Lewat kacamata konsumerisme, menarik untuk melihat apa yang terjadi pasca pandemi dan hubungannya dengan pola konsumsi di Indonesia. Minyak kelapa sawit yang serbaguna ini dapat ditarik jauh keberadaannya mulai dari bahan bakar kendaraan, sabun, margarin, roti, sampo, deterjen, mi instan, cokelat, es krim….hingga minyak goreng. Ternyata produknya dekat dengan keseharian semua orang, namun sefamiliar apa sih kita dengan tanah asal muasal minyak kelapa sawit ini? 

Dari rezim Soeharto hingga Jokowi saat ini, ekspansi lahan kelapa sawit selalu meningkat. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi dibalik laporan akhir tahun pemerintah dan badan swasta pengeruk minyak sawit. Jika tidak terkontrol, bukan hanya kata kunci deforestasi, climate change, kepunahan satwa liar, bencana alam, TW: Jakarta tenggelam… yang akan jadi konsumsi media massa (baca: warga sosmed T-word). Bu Ninin, Bu Inge, Bu Nikmah, Bu Eni, Bu Mumun, Bu Riani, Bu Farah, dan Bu Desi percuma ikut audisi untuk iklan. Mereka tidak akan bisa mewujudkan keinginannya untuk hidup di rumah sendiri dengan lingkungan yang asri. Posisi ibu-ibu rumah tangga ini krusial dengan potensinya mengatur pola konsumsi per kepala di keluarga masing-masing. Sayangnya, mereka adalah posisi yang paling rentan dengan kenyataan yang bisa ditonton di “Sharing Anxiety” ini; banyak dari ibu rumah tangga yang tidak paham bagaimana pola konsumsi sebenarnya berkaitan erat dengan dampak di lingkungan mereka sehari-hari. 

Jimged juga berawal seperti ibu rumah tangga di Indonesia, yang hidup lekat dengan kelapa sawit tanpa menyadari dampak konsumsinya. Bermodalkan rasa penasaran, ia menyempatkan waktu untuk mencari tahu lebih lanjut tentang kelapa sawit. Penasaran seringkali menghasilkan kekecewaan, lalu kekhawatiran. Hingga akhirnya, Jimged mulai untuk open up lewat “Sharing Anxiety”. Untuk berani terbuka, Jimged sadar betul penyamarataan pengetahuan jadi hal yang krusial untuk meningkatkan kesadaran dan membuat dampak. Penyamarataan pengetahuan ini ia bawa dalam bentuk iklan.

Kekuatan “Sharing Anxiety” sebagai iklan, justru ada di bentuknya yang menentang tradisi iklan TV Indonesia yang acapkali terlihat niat, rapih, singkat dan cenderung utopis, dengan menampilkan proses casting iklan itu sendiri. Seperti testimoni ibu-ibu rumah tangga yang ada di karya, “Sharing Anxiety” bisa jadi adalah iklan yang tepat untuk dibagikan ke mereka; ia lucu, ceria, relatable, dan gampang diingat. Mungkin bisa di-rework jadi semenit biar bayar slotnya gak mahal-mahal amat. Tapi serius, jika berbicara tentang potensi “Sharing Anxiety” sebagai iklan dan hanya iklan, penentangan tradisi sebagai konsep yang punya nilai jual dan daya tarik di industri iklan Indonesia justru bisa menawarkan familiaritas dan breakthrough bagi penontonnya di saat yang bersamaan (makasih, Derrida). Jika berhasil, “Sharing Anxiety” bisa mencapai target yang diinginkan oleh Jimged; semakin banyak orang yang tahu tentang berbagai macam masalah yang hadir karena industri minyak kelapa sawit, semakin besar dan cepat kesadaran akan masalah tersebut tercipta, sebelum semua terlambat. Sebagai warga yang mungkin hanya dikenal dengan 16 digit angka di kartu biru negara, apa yang paling tidak bisa kita lakukan selain tulis, unggah, like and share? 

Catatan Kaki dari Penulis : 

Seperti Jimged, selama berproses mengerjakan tulisan ini penulis menemukan banyak sekali bacaan-bacaan tentang CPO yang rasanya harus disebarkan seluas-luasnya. Akses https://tinyurl.com/minyakjahat2023 untuk mulai sadar dan cemas lebih lanjut.

//

Lanjutkan dengan Penuh Kasih (Proceed With Care)

Oleh Azalia Syahputri

Sekilas, “Round and Round and Round and We Go” karya Cinanti Astria Johansjah atau sebutan akrabnya, Keni, terkesan seperti gumpalan-gumpalan warna warni yang berusaha mengisi kehampaan suatu lanskap, membangun perspektif. Apakah pemaknaan saya, sang penulis tulisan ini, absolut? Tidak hanya satu kanvas, lanskap yang sepertinya berusaha diambil alih oleh gumpalan ini bahkan lebih dari satu. Dari mana kita (baca: penikmat karya seni) bisa mulai berproses? Untuk kalian yang berpapasan dengan karya ini, bagaimana cara mulai membaca sebuah karya yang rasanya, tidak langsung klik di pikiran dan hati? 

Banyak idiom di luar sana tentang bagaimana orang-orang kebanyakan bisa mulai mencerna sebuah karya: separate the art from the artist, art is long life is short, life imitates art, art for art’s sake, off the wall, see the big picture!, dan seterusnya. Potensinya tak terbatas. Kita sebagai penikmat karya seni justru punya otonomnya sendiri untuk seliar-liarnya menerka dan menginterpretasi sendiri sebuah karya.
Jika kalian membaca teks ini, silakan berproses menikmati karya ini dengan satu catatan terakhir dari saya, sebagai penulis : Seliar-liarnya karya adalah karya yang interpretasinya bahkan sudah jauh di luar intensi awal sang seniman. Dan tidak ada salahnya untuk jadi liar.

//

Rock Tidak Selamanya Roll

Oleh Azalia Syahputri

Sebatu-batunya manusia, batu mungkin adalah entitas paling tak tergoyahkan. Julian “Togar” Abraham dalam karyanya “Rockers ‘gonna’ rock” sepertinya membuktikan bahwa rock is not always “and roll”. Terkadang, ia akan tetap “batu” (baca: keras kepala). Selama 37 menit, Togar berusaha merekam suara batu di pinggir pantai. 37 menit adalah waktu yang panjang, untuk manusia adu keras-keras(an) dengan alam. Batu sedimen pantai sendiri, rata-rata butuh waktu 80 juta tahun sampai terkikis menjadi pasir. 80 juta tahun lagi, Togar pasti sudah tergantikan oleh anak-cucu-cicitnya, atau mungkin manusia sudah punah. Batu tersebut pun sebenarnya tetap ada, namun sudah semakin menyatu dengan alam. Apakah “Rockers ‘gonna’ rock” membuktikan bahwa di saat manusia bisa jadi punah, only rockers ‘will still’ rock? 

Lantang dengan Papan

Oleh Azalia Syahputri

From the river to the sea, Palestine will be free!

Palestina Merdeka!

Nyanyian-nyanyian yang dilantangkan Julian “Togar” Abraham dalam karyanya yang bertajuk sama bukan hanya sekadar kicauan kemarin sore. Terutama untuk “From the River to the Sea, Palestine Will Be Free”, nyanyian ini bukan sembarang nyanyian untuk orang-orang yang menyebut dirinya pro-Palestina atau menganut sikap antisemitisme. Bermula jauh di tahun 1987 saat First Palestinian Intifada (Intifada : istilah Islam dengan semangat perlawanan), dimana rangkaian protes terjadi saat Israel mulai bergerilya menuju Palestina. Dari awal mulanya konflik Palestina-Israel adalah konflik perebutan alam. Alam di sini sudah berubah sebagai kuat-kuatan negara, permainan tokoh-tokoh politik kala itu atas perebutan kekuasaan tanah, air dan batas-batas imajiner. Alam mana yang menjadi milik negara mana. Hal ini yang justru menimbulkan pertanyaan: apa atau siapa yang sebenarnya memberi batas, atau dibatasi? Jika alam sudah berkehendak atau merencanakan bencana, akhirnya imaji batas-batas siapa yang akan berlaku? 

Walaupun nyanyian ini sejarahnya lekat dengan mengelu-elukan sikap invasif atas batas-batas negara, hal yang mungkin perlu diperhatikan di sini adalah sikap Togar sebagai seniman untuk menjadi lantang, dengan papan. Semangat ini berbanding lurus dengan intifada pertama Palestina yang penuh dengan rangkaian protes. Protes bahwasanya adalah sikap untuk berani “bernyanyi”.

Di dalam rangkaian protes, sudah familiar rasanya melihat banyak orang menggunakan berbagai macam moda untuk “bernyanyi”; toa, tarian, sosial media, lautan manusia, hingga hal yang terlihat simpel namun klasik seperti papan. Apakah Togar merasa, di zaman-zaman sekarang ini, manusia kurang ahli “bernyanyi”? Dengan papan-papan akrilik karyanya, apakah Togar sudah merasa puas karena ia––setidaknya––sebagai individu warga negara, dapat menjadi lantang dengan papan, dimana di negara-negara tertentu papan mungkin berarti “mati”?

//

Figurative Sound

Oleh Azalia Syahputri

M.Irfan sebagai seniman fotorealis yang lahir di tahun 70-an besar dari kebiasaan seniman-seniman seusianya yang cenderung berangkat dari lukisan bergaya realis. Irfan sendiri di awal perjalanan artistiknya kerap mengeksplorasi material lukisan yang kerap menghasilkan karya yang semi ekspresionis atau minimalis. Dari awal proses artistiknya hingga saat ini, Irfan mengibaratkan prosesnya sebagai perjalanan yang penuh dengan fase yang berbeda-beda. Di fase pengkaryaannya kini, Irfan berusaha mencari sesuatu yang konkret. Hal ini nyata kesannya di “Ateng Kaya Mendadak” yang berupa instalasi pijakan semen, kursi, dan jerigen minyak yang disusun menumpuk hingga mencium plafon. Ya hanya, pijakan, kursi, dan jerigen disusun. Lewat konkretisasi karya ini, Irfan ingin mewujudkan pengalaman memproses karya yang memantik pengalaman estetik penikmatnya. 

Penikmat bisa saja punya cara-caranya sendiri untuk menikmati suatu karya. Korelasi antara judul karya, tulisan tentang karya (contohnya, yang kalian baca detik ini), dan presentasinya, bisa jadi masuk ke proses ini. Proses korelasi ini sempat dieksplor di beberapa pameran onomatopoeia art dunia, salah satunya di Tokyo (Onomatopoeia in Glass Art at Toyama Glass Art Museum, 2023). 

Onomatopoeia, atau onomatope yang menurut Harimurti Kridalaksana (2008) bermakna ‘peniruan bunyi yang diasosiasikan dengan benda atau perbuatan itu’. Kita dapat membunyikan kata miaw, misalnya, untuk menirukan suara kucing. Suara petir pun dapat kita tebak dengan mudah. Onomatope mencerminkan relasi alamiah dan apa adanya antara penanda suara (petir) dan petandanya (ctarrr!).

Di pameran Onomatopoeia in Glass Art, glass art atau seni yang terbuat dari kaca adalah karya-karya interaktif yang butuh rangsangan kinetik dari penikmatnya. Bunyi-bunyi yang muncul menghasilkan suara-suara yang untuk kita di Indonesia, mungkin akan menulis kling kling atau crrrang! prang, prang!!!!. Mengutip dari panduan pameran ini, Jepang menginterpretasikan suara-suara kaca ini dalam berbagai frase, seperti : torori, dorori, pika! pika!, fuwafuwa, hingga pukupuku.

Probabilitas pengalamannya tak terhingga, redefinisinya bisa berbagai ragam. Apakah onomatope bisa diaplikasikan juga ke karya instalasi seperti “Ateng Kaya Mendadak”? 

Onomatope pada prinsipnya sebenarnya serupa dengan semangat Irfan di fase konkretisasi pengkaryaannya. Ia ingin memantik pengalaman estetik, membuka kesempatan untuk penikmat untuk fokus berimajinasi, jika mau aneh-aneh, ya aneh sekalian! Sekilas ketika mendengar judul “Ateng Kaya Mendadak”, adakah jiwa jiwa word-sound-figure synesthesia yang tiba-tiba muncul saat melihat karya Irfan secara langsung? Apakah figur tumpukan pijakan semen, kursi minimalis nan ringkih a-la IKEA, dan sembilan jerigen minyak yang bertumpuk memenuhi ruangan hingga berciuman dengan plafon menghasilkan suara yang kesannya mirip kalimat “Ateng Kaya Mendadak”, atau ada suara-suara aneh lainnya?  

//

We Watch as the Dancers Marching Towards Darkness

By Azalia Syahputri

Everything goes down when the sun takes charges. 

It was summer fever, the days when one gives and one destroys. (Sun is shining, the weather was sweet, yeah)

(To the rescue), here we are

What comes out, when a new day is rising, and earth starts to whine?

We are marching against time

(Cooling down)

Rage building on every grounds

Heat eats the masses

Fear obliterates our primal vices, what rises?

The fall is inevitable

Lights out! The darkness comes within, undeniable

(When the day can’t gathers the rainbow)

Dark days incoming

(I want you to know we are the darkness, too)

On that days, to be safe is to run

(Steps, steps,) steps-per-time, away from the earth

Machinery taunt us apart

Artillery’s devours us, apart

Follow the rhythm

Ten rounds at a time, three time’s a charm

It’s deafening––it’s sickening

One senses down, anything else becomes blurry

By that time, people starts dancing

People rage, people engage

(Make me move, we move our dancing feet)

Pick up the tempo

The weapon against time

The nakedness of lands and beings are our inability to perceive 

People matters, people shatters

People dances, people losing chances

(Nothing left, no time left)

As the country picks up it’s belly to run

We, the dancers, are marching towards the darkness


***

Alam Asali, Alam Khayali/Round and Round and we go
Pameran bersama/Group exhibition of

Abyu Amanda Aldi
Ary “Jimged” Sendy
Cinanti Astria Johansjah (KENI)
Julian Abraham “Togar”
M. Irfan


dengan penulis/with writers Azalia Syahputri & Ibrahim Soetomo
1 – 30 Juli 2023

Kedai Kebun Forum

Jl. Tirtodipuran No.3, Yogyakarta

***

***