Alam Asali, Alam Khayali, dan Sedikit Mengenai Seni sebagai Ekologi

oleh Ibrahim Soetomo

Bagaimana seniman membicarakan tentang diri dan lingkungannya? Saya percaya, tak ada karya yang tak berpijak pada lingkungannya. Kemudian, bagaimana jika lingkungan yang seniman maksud ini adalah lingkungan yang bermasalah, terdampak oleh ulah manusia? Bagaimana seniman bersikap terhadapnya? 

Pameran yang mempertemukan karya dan pemikiran Cinanti Astria Johansjah, Abyu Amanda Aldi, Ary “Jimged” Sendy, M. Irfan, Suparyanto Bofag, dan Julian Abraham “Togar” ini mengajakserta dalam percakapan tentang masalah-masalah di alam kita. Jika saya boleh menawarkan sebuah rute dalam mengenali dan memaknai karya dan pemikiran yang ada, karena semuanya saling terhubung, maka arahnya akan seperti ini, mari:

Pertama-tama ialah karya Cinanti Astria Johansjah, atau Keni. Keni kerap melukiskan dirinya dan anekasatwa. Anjing, bison, lumba-lumba, paus. Ia telah memulai kebiasaan artistik ini sejak 2006–07. Dalam lukisan-lukisannya, ia biasa menempatkan dirinya setara dengan berbagai satwa itu, memimikrinya, bahkan suatu waktu menyatukan dirinya dengan tubuh satwa secara fantastis. Ia banyak melukis dengan cat air yang ketertembusannya melembutkan dan membuat polos subjek-subjek lukisannya. 

Pada pameran ini, kita memandangi seri lukisan Round and Round and We Go (2019). Seri ini mengandaikan suatu bentang alam khayali yang, meski penuh warna-warna cerah, sepi. Lukisan-lukisannya mengundang kita ‘tuk menduga apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana, seakan sedang atau baru saja mengalami suatu kejadian luar biasa. Keni menaruh petunjuk: ia menyoret wujud seekor satwa yang, tak seperti biasanya, muncul dalam porsi kecil dalam satuan bentang alam di lukisannya, seolah menganulir keberadaannya. 

Di sini ia membicarakan dampak sampah bagi lingkungan. Sampah dalam pikiran manusia, juga sampah yang tertimbun sebagaimana yang ada di sekitar kita. Keni membicarakan suatu hubungan makhluk hidup yang tak lagi intim, dan lingkungan hanyalah menjadi suatu pemandangan eksotis bagi manusia. 

Kemudian, ada karya Abyu Amanda Aldi. Abyu terbiasa mencatat hal-hal yang terlintas dalam kesehariannya, lalu mengolahnya menjadi simbol dan tanda. Saat akhirnya mewujudkan imajinasi itu, ia mencoba-coba tekstur kertas kasar dengan menggunakan gesso atau mengerok-ngerok permukaannya. Pada Side by Side (2022), Abyu menaruh tanda-tanda, dari jejak roda pengangkut, kelapa sawit yang nampak terpasang pada rangka mainan rakit, sepetak tanda +, kepala manusia, dan harimau. Tak ada pusat perhatian di karya ini. Semua gambar sama pudarnya. 

Abyu membicarakan dampak pembukaan dan peluasan lahan sawit yang niscaya menyingkirkan habitat satwa endemik, yang pada karya ini diwakilkan oleh harimau. Abyu terpikir akan Tapanuli Selatan, Sumatra, yang dipasarkan sebagai lahan investasi, turisme, dan pembangunan infrastruktur. Kita, dari waktu ke waktu, barangkali pernah membaca warta tentang harimau masuk pemukiman warga. Penduduk sekitar sering menganggapnya sebagai ancaman (semacam anggapan anthropogaze?). Pada warta lain, ada pula siasat warga memajang foto harimau di banner seukuran 1×1,5 m demi mengusir monyet-monyet meresahkan yang mengganggu pemukiman dan perkebunan (entah kita harus ketawa atau merasa miris mendengar beritanya). Cerita-cerita ini, tentu, hanya sekian dari banyak yang lain, dan agak bergeser dari cerita Abyu. Hanya saja, Abyu lantas mempertanyakan peran manusia dalam ekosistem makhluk hidup. 

Ada satu petunjuk lain dalam Side by Side, yang entah kebetulan atau Abyu menyengajakannya: Coba kita lihat markah daun sawit yang berada dalam kepala sosok manusia, seolah-olah mengibaratkannya sebagai seorang kapitalis yang hanya memikirkan untung untung untung, sawit sawit sawit. 

Setelah itu, Ary “Jimged” Sendy. Pada praktik artistiknya, Jimged berfokus merekam konsumerisme dan kehidupan urban melalui fotografi dan gambar bergerak, dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial hingga kesejarahan. Jimged berupaya menyorot rantai serta relasi kuasa yang menubuh mengendap di masyarakat. 

Sharing Anxietes (2015) ada hubungannya dengan Side by Side Abyu karena mengungkit dampak industri kelapa sawit. Pada karya ini, Jimged mengundang sejumlah ibu rumah tangga ke sebuah sesi yang menyerupai audisi pemain iklan tentang impian dan harapan seorang ibu bagi anak dan keluarganya. Kebahagiaan, kehidupan berkeluarga yang nyaman, hingga masa depan dan pendidikan anak-anaknya. Arahan audisi akhirnya menyentuh tugas seorang ibu rumah tangga. Sesi yang bermula dari penyutradaraan audisi seketika berganti menjadi obrolan tentang penggunaan minyak kelapa sawit sebagai komponen dasar bahan domestik sehari-hari, yang biasa diemban oleh seorang ibu rumah tangga. 

Ketaktahuan para ibu tentang bahan minyak kelapa sawit ini adalah ketaktahuan kita bersama. Terutama bagi yang bermukim dan bekerja di kota-kota besar. Lantas, Jimged ingin berbagi pengetahuan, juga kekhawatiran, tentang ketakberadaan sekaligus keberadaan produk industri kelapa sawit yang kehadirannya diam-diam mengendap di tiap-tiap barang domestik. 

Lalu, karya M. Irfan. Dalam kekaryaannya belakangan, Irfan cenderung menampilkan yang konkrit setelah sebelumnya menjelajahi lukisan dan drawing. Ateng Kaya Mendadak (2019) merupakan salah satu contoh dari fase baru praktik artistik ini.

Ateng Kaya Mendadak pernah tampil di pameran tunggalnya, Nirkias (RUBANAH, 2019). Ketika mempersiapkan pamerannya ini, Irfan berkelana dari Lampung ke Sabang, kemudian setelah jeda dua minggu, ia kembali ke wilayah dalam Lampung. Pengelanaannya adalah upaya berhubungan kembali dengan buminya. 

Irfan terpikir akan petuah-petuah lintas generasi, seperti “gemah ripah loh jinawi” atau “tentram, makmur dan tanahnya sangat subur,” yang baginya kian kini kian menjauh dari keadaan sebenarnya. Menariknya, demi membicarakan gambaran yang kian abstrak, Irfan justru pergi ke konkrit. Di Nirkias, kita menyaksikan batang–batang pohon pucat siap angkut, juga rerempahan yang ditancap-tancapi pilar-pilar lampu LED. Tampak brutal, dingin, tapi barangkali demikian adanya, barangkali demikian yang ia temukan selama kembaranya di Lampung. 

Hingga tibalah kita pada Ateng Kaya Mendadak. Setumpuk jeriken yang duduk di atas kursi beralas concrete, yang bergumul soal komoditas atau moda ekonomi berbasis minyak, yang ironisnya dapat kita lihat juga sebagai gambaran akan ketentraman, kemakmuran, dan kesuburan–kali ini dari sudut pandang lain.

Setelah Irfan, ada Suparyanto Bofag. Bofag berangkat dari drawing dan mengeksplorasi bleaching dan bordir di kain hitam dengan gaya ilustrasi yang terinspirasi dari aksesoris dan pernak-pernik musik. Baginya, hitam taklah selamanya hitam, karena kelak timbullah terang. Terang, dalam benak Bofag, rasanya bukan cahaya dari luar, melainkan apa-apa yang diputihkan dari gelap. 

Pada Pedansa di Planet Kerontang (2018–2021), kita sesungguhnya tak melihat dunia yang bagi Bofag kerontang itu, melainkan sekerumun makhluk hidup yang memenuhi bidang gambar, atau mungkin Bofag melakukan semacam cropping yang menghapus gambar dunia tersebut. Apakah Bofag berupaya menggambarkan suatu dunia pascapetaka yang panjang kemarau, dan makhluk yang tertinggal hanya bisa berdansa di ambang kolapsnya? 

Lalu, Julian Abraham “Togar”, seorang seniman, musisi, dan menurutnya, pseudoscientist. Karyanya Rockers’ gonna’ rock (2022) merekam ‘bunyi’ sebongkah batu karang di tepi pantai selama kurang lebih 37 menit. Terkesan bahwa Togar merekam debur-debur ombak, namun sesungguhnya ia merekam si batu. Dan Batu akan menjadi batu dalam satuan waktu batu. Tingkah laku Togar sedikit banyak mengingatkan saya pada film-film Wes Anderson: deadpan, dan anehnya, eksistensial. Sementara PALESTINA MERDEKA (2022) dan FROM THE RIVER TO THE SEA PALESTINE WILL BE FREE (2022) adalah suara di tengah-tengah bunyi.

Praktik artistik Togar bergiat dengan ritme dan sistem, dengan menginisiasi, mengintervensi, menegosiasi, meretas, hingga mendengar. Togar menekankan aspek mendengar secara aktif. Mendengar, baginya, adalah sikap mencerap huluhilir bunyi sebagai bagian dari suatu percakapan dan upaya mewawas diri. 

Sampai saat ini, rasanya kian jelas bahwa karya-karya di pameran ini membicarakan ‘alam’ dengan pengucapan dan mediumnya masing-masing. Mereka merupakan renungan, percakapan, hingga pencarian makna hubungan manusia dengan alam yang tunggal sekaligus jamak. Lingkungan terdekat, lingkungan lain, alam asali, alam khayali. Laku ini sedikit banyak mengingatkan saya pada sepatah falsafah Minang, “alam terkembang menjadi guru.” Dalam “terkembang,” alam mengekspansi dirinya dan melulu tersedia. Namun, alam yang seperti apa yang kita bicarakan? Kemudian, apa atau siapa itu “guru”? Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan, menganggap bahwa guru tak hanya pengajar, tapi juga penuntun bagi persemaian ilmu-ilmu, yang mengemban, juga mengasuh. Menyedihkan, memang, karena dalam konteks pameran ini, alamnya harus rusak dulu baru jadi guru. 

Saya ingin mengantarkan pembaca pada sebuah sudut pandang seorang filsuf kontemporer, Timothy Morton. Tim berargumen bahwa “Semua seni itu ekologis.” All art is ecological. Gagasan ini barangkali radikal, karena baginya semua seni bersifat ekologis dalam artian ia adalah hasil dari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan alam sekitarnya; antara yang manusia dan nonmanusia. Tim menyatakan, “Sebuah karya seni itu sendiri adalah makhluk nonmanusia, dan solidaritas dalam ranah artistik ini sudah merupakan solidaritas dengan makhluk nonmanusia, terlepas dari apakah karya seni tersebut secara eksplisit bersifat ekologis atau tidak. Seni yang eksplisit secara ekologis hanyalah seni yang membawa solidaritas dengan yang bukanmanusia tampak ke permukaan” (2021).

“Semua seni itu ekologis” pasti menuai perdebatan di kalangan pembacanya. Setelah kita melihat beberapa aksi para aktivis lingkungan yang menciprat cat kemudian mengelem telapak tangannya ke permukaan lukisan, ucapan “semua seni itu ekologis” itu rasanya menjadi terlalu malas. Namun, mari letakkan percakapan ini pada kesempatan lain, dan saya tetap ingin menggunakan pandangan ini ‘tuk memaknai, menghargai, juga merendahhati. Hanya saja, setelah membaca Tim, saya tak bisa tak melihat seni sebagai perwujudan laku ekologi. 

Karya-karya di pameran ini memiliki lapisan eksplisitas yang berbeda-beda. Mereka adalah pemantik dialog, pembawa kabar dan kisah tentang dunia yang jauh dan tak kita ketahui. Dari sapaan itu kita lalu menjalin hubungan dengannya. Kita terpikir pula bagaimana para seniman sedari dulu melukiskan, membicarakan, hingga mewacanakan hubungan dan dampak manusia dengan dan pada lingkungannya. Kita mengingatingat Mas Pirngadie, S. Sudjojono, Rusli, ke Siti Adiyati, Dede Eri Supria, Handiwirman Saputra, hingga para seniman di pameran ini. Percakapan ini memang antroposentris, kecuali tanah, air, pepohonan dapat berbicara dan membalikkan sudut pandang. Namun dalam ekologi kita tak bisa meniadakan peran manusia, dan kita mengupayakan keseimbangan.

Kembali pada pertanyaan mula, bagaimana seniman bersikap terhadap masalah lingkungannya? Dapatkah kita melihat seni hidup berdamping dalam satuan lingkungan hidup? Saya ingin mengalami seni yang seperti itu.

***

Alam Asali, Alam Khayali/Round and Round and we go
Pameran bersama/Group exhibition of

Abyu Amanda Aldi
Ary “Jimged” Sendy
Cinanti Astria Johansjah (KENI)
Julian Abraham “Togar”
M. Irfan


dengan penulis/with writers Azalia Syahputri & Ibrahim Soetomo
1 – 30 Juli 2023

Kedai Kebun Forum

Jl. Tirtodipuran No.3, Yogyakarta

***

***