Hijau telek kuda

22 July – 12 August 2023

Bunga di atas batu

Dibakar sepi

Mengatas indera

Ia menanti

Bunga di atas batu

Dibakar sepi

“Bunga di atas batu”, sajak minimalis Sitor Situmorang yang (konon) terinspirasi dari lukisan-lukisan figur Sudarso. Benar atau tidak, itu bukan soal. Baik Sitor maupun Sudarso, sama-sama penyuka sunyi. Sajak-sajak Sitor tidak mengajak kita berkelahi. Pun sapuan kuas Sudarso yang tak menggelegak. Seperti bunganya Sitor yang dibakar sepi, figur-figur Sudarso menatap pada kehampaan, nglangut.

Ada masa dimana Sudarso menyapu kuas dengan kasar. Garis-garisnya sederhana dan kadang tidak mementingkan detail bentuk. Warnanya juga terbatas: oker kuning keemasan, hijau gelap, dan coklat tua. Corak warna khas lukisan-lukisan yang lahir di zaman revolusi fisik lantaran para seniman kekurangan cat dan pilihan warna.

Ketika melukis, Sudarso biasa memakai cat PAR yang terlebih dahulu diendapkan agar minyaknya terpisah. Endapan cat lalu dicampur dengan minyak tanah, sebab terpentin masih sukar didapatkan. Oleh karena sifat material yang digunakan, warna lukisan-lukisan Sudarso menjadi kelihatan kusam dan buram. 

Bioskop Soboharsono (1946), Berjualan (1946), Pasar (1947), Si Genduk (1947), Asiyah Menjahit (1947), Tania Dezentje (1947), dan Gerobak Sapi (1948) untuk menunjuk beberapa karya yang dihasilkan saat itu.

Sudarso, seperti kebanyakan seniman lainnya, berusaha mengabadikan hiruk-pikuk yang berlangsung di zaman revolusi fisik. Suasana yang sesak, suram, dan serba tidak pasti. Agak berbeda dengan Affandi ataupun Hendra Gunawan yang–meminjam istilah Nasjah Djamin–menjadi konco sejalan hidupnya, karya-karya Sudarso relatif lebih kalem.

Mereka berdua cukup sering melukiskan suasana yang serba genting dan terburu-buru. Adapun Sudarso, memilih untuk mencuplik suasana keseharian dan potret kehidupan yang jauh dari garis depan. Dramatis tetapi tidak heroik. Seperti Si Genduk, anak perempuan yang dilukis Sudarso di Pasar Beringharjo. Potret bocah yang barangkali jamak ditemui lalu lalang di sudut-sudut Kota Jogja pada masa-masa susah.

Selepas revolusi fisik, gaya lukisan Sudarso menjadi lebih lentur. Figur yang dia lukis mulai digarap dengan cara yang sangat halus. Garis-garisnya tidak lagi kasar dan proporsi anatomisnya disempurnakan. Sudarso melukiskan figur (khususnya figur perempuan) dengan cermat: rambut digelung, motif-motif kain yang detail, tatapan nglangut, debu yang melekat di kaki, jari-jari yang lembut, dan latar yang kadang absurd. Dari itu semua, Sudarso selalu menyertakan trademark untuk lukisan figur perempuan yang dia hasilkan; sapuan berwarna hijau telek kuda (dark olive green) pada bagian kulit tangan, kaki, dan wajah.

Dari segi metode kerja, di era ini Sudarso lebih banyak melukis di dalam “studio”, dalam hal ini kediamannya di Sentulrejo. Kalaupun dia melukis secara on the spot, yang dilukiskan adalah lukisan landscape. Dia tidak lagi berkeliling mencari objek/subjek lukisan seperti saat melukis Si Genduk. Tentu hal tersebut juga berpengaruh pada penggambaran latarnya. 

Sudarso sangat mengutamakan presisi saat melukis figur, sehingga kesempurnaan subjek yang dilukis menjadi hal utama baginya. Di sejumlah lukisannya, latarnya kadang terasa seragam, kadang juga sesuai dengan apa yang tampak saat itu; entah dengan latar jendela, kamar tidur, maupun perabotan seperti meja dan kursi yang memang hadir saat itu.

Sudarso mempunyai cara sendiri ketika melukiskan latar lukisan. Kebiasaan ini hampir selalu ada di setiap lukisannya. Dia memanfaatkan “buangan-buangan” cat untuk diwujudkan menjadi bentuk latar. Sisa-sisa cat pada kuas ditumpuk di ruang-ruang kosong pada kanvasnya. Kadang sekadar ditumpuk begitu saja. Tumpukan-tumpukan cat itu yang kemudian dia respons menjadi bentuk latar tertentu. Sering juga berupa hasil sapuan tanpa pola dan garis-garis tak beraturan. 

Percampuran berbagai elemen warna dalam tumpukan cat itu dan tarikan garis ekspresifnya menghasilkan bentuk-bentuk tak terduga. Beberapa diwujudkan menjadi pemandangan alam dengan corak warna gelap, sementara yang lainnya tak berbentuk sama sekali. Bukannya mengganggu subjek pada lukisan, tumpukan warna tanpa bentuk tersebut malah membantu untuk menghasilkan efek kedalaman ruang atau perspektif pada lukisan-lukisannya.

Memasuki era 80-90 an, Sudarso mulai dimakan usia. Demikian juga karyanya yang dianggap tidak lagi sebagus sebelumnya. Kita bisa melihat lukisan-lukisannya yang repetitif, baik secara gagasan maupun bentuk. Dia melukis ibaratnya naik motor: secara otomatis sudah tahu harus memulai dari mana dan langkah-langkahnya bagaimana. Di antara banyak lukisan yang diproduksi pada periode ini, ada satu karya yang terasa sangat menarik, diberi tajuk  “Meitia Cucuku” (1990).

Kekhasan Sudarso sayup-sayup tampak pada lukisan ini. Sapuannya memang kelihatan kasar dan dudukannya sama sekali tidak berbentuk. Entah mau menggambarkan batu seperti lukisan-lukisan terdahulunya atau kursi tempat Meitia duduk. Rambutnya dikuncir ala kadarnya, tidak digelung. Pakaian yang dikenakan bukan kebaya, tetapi mengenakan sarung dengan motif buketan. Warna pada bagian kulit digarap seperti lukisan-lukisan lamanya: kuning dengan bubuhan hijau telek kuda di atas permukaannya.

Di masa senjakalanya, daya yang tersisa hanya sedikit saja. Tidak ada lagi Sudarso sang pelukis realis pada era ini. Sapuannya berubah menjadi ekspresif dengan garis yang kasar dan dalam lantaran menekan getaran tangannya yang renta. Apapun itu, Sudarso telah menunjukkan semangat dari seseorang yang mendedikasikan seluruh hidupnya hanya untuk melukis.

***

Pameran arsip dan lukisan/Archival and painting exhibition of Sudarso

Dengan kurator/Curated by Arham Rahman

22 Juli – 12 Agustus 2023

Klik di sini untuk mengunduh teks kuratorial dalam Bahasa Indonesia/Click here to download the curatorial text in Indonesia

Klik di sini untuk mengunduh esai lengkap pameran Hijau telek kuda

***

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *