Hijau telek kuda: Corak lukisan dan alam pikir Sudarso

oleh Arham Rahman

Si Genduk

Seperti hari-hari biasanya di tahun 1947, Sudarso mengayuh sepedanya untuk mengunjungi salah satu sudut Kota Yogyakarta. Dia membawa serta peralatan lukis sembari berharap menemukan sesuatu untuk dilukiskan. Rutinitas tersebut sudah dilakoni semenjak dia ikut hijrah ke Yogyakarta setahun sebelumnya, bersamaan dengan pemindahan pusat pemerintahan di kota itu. Sudarso berangkat dari kediamannya di Sentulrejo, dan di hari itu, dia memilih untuk mengunjungi Pasar Beringharjo.Di salah satu sudut pasar, Sudarso bersua dengan seorang anak perempuan yang tampak tak terurus, yang seketika dia putuskan untuk dijadikan sebagai subjek lukisan. Setelah merasa cukup, Sudarso berkata kepada anak itu untuk menunggunya, sebab dia bermaksud untuk pulang mengambil uang dan membungkus makanan yang akan diberikan kepadanya. Sayangnya, setelah kembali di tempat yang sama, dia tidak lagi menemukan anak itu. Betapa pun dia mencari, anak itu tak kunjung dia temukan. Sudarso bahkan tidak pernah tahu siapa namanya. Dia mengenang anak itu dengan sebutan Si Genduk, yang sekaligus dijadikan judul lukisannya.

Si Genduk” (1947) dilukiskan sebagai anak kecil berwajah polos setengah memelas yang mengenakan pakaian lusuh dan kumal. Dia duduk di kursi dengan sebuah meja persis di sampingnya. Di atas meja, digambarkan piring dan gelas yang tampak habis pakai. Beberapa menyebutkan objek gelas dan piring yang disertakan Sudarso dalam lukisan itu memang sudah ada di sana. Akan tetapi, jika menilik kebiasaan Sudarso dalam membuat lukisan figur, latar yang digunakan sebagian besar bukanlah objek yang sesungguhnya atau tidak benar-benar hadir ketika lukisan tersebut dibuat. 

Pada lukisan Si Genduk, jejak garisnya sangat terlihat. Sudarso sepertinya tidak menyelesaikan lukisannya saat itu juga. Dia hanya membuat sketsa dan mendetailkan sejumlah bagian sebelum diselesaikan di tempat lain. Ada sapuan-sapuan garis pada bagian wajah, tangan, dan pakaian yang kemudian dihaluskan lagi. Sebagian besar sapuan garis tampak tegas, tebal, dan terkesan kasar. Sementara objek lain yang ada pada lukisan itu, terutama piring dan gelas kosong, dibuat lebih halus. Saya cukup yakin, dua objek tersebut tidak hadir secara nyata saat dia melukis Si Genduk.

Si Genduk bisa kita katakan menjadi gambaran umum dari orang-orang yang sehari-hari dilihat oleh Sudarso di Yogyakarta pada masa revolusi fisik. Sandang, pangan, dan papan serba susah. Kota ini penuh sesak dengan para pendatang dari berbagai daerah: para laskar dan orang-orang yang memilih meninggalkan daerahnya karena didesak militer Belanda. Di tengah keriuhan itu, para seniman membaur dengan orang kebanyakan dan menempati berbagai sudut kota. Sudarso, seperti kebanyakan seniman lainnya, berusaha mengabadikan hiruk-pikuk yang berlangsung di zaman itu. Suasana yang sesak, suram, sekaligus diliputi semangat “kemerdekaan”. Beberapa sejarawan memang menuliskannya dengan sedikit dramatis; hidup melarat tetapi bersemangat. Meskipun tidak sepenuhnya demikian. Hidup melarat di tengah situasi yang serba tidak pasti sudah tentu membuat sebagian orang kurang antusias. Apalagi mendapati seniman yang datang untuk merekam keseharian mereka. Sekali waktu di tahun 1946, Affandi kena apes saat melukis di salah satu sudut pasar. Seorang pemuda setengah telanjang melemparinya dengan kotoran seraya berujar: ‘Seniman ini marah. Sementara orang-orang kita telanjang ia melukis(kan) mereka di atas kanvas dan bahkan membuat lukisan yang buruk yang kita tidak dapat mengerti.’

Zaman Susah

Seniman-seniman yang hijrah ke Yogyakarta, sekalipun beberapa di antaranya dekat dengan Soekarno dan karyanya biasa dibeli, kehidupan mereka tetap sama susahnya dengan orang kebanyakan. Sudarso, misalnya, yang hidup seadanya dan hanya mengandalkan hasil penjualan lukisan yang tidak seberapa untuk menghidupi istri beserta dua anaknya. Dia bersama keluarganya tinggal di Sentulrejo, berdekatan dengan Hendra Gunawan dan markas Sanggar Pelukis Rakyat. Karena pas-pasan, acap kali mereka mesti saling bantu saat membuat karya, terutama berbagi cat yang memang sukar didapat.

Situasi ini mempengaruhi corak lukisan sejumlah seniman. Pilihan penggunaan warna yang terbatas dan kadang pula mencari pengganti kanvas untuk melukis. Beberapa karya terpenting Sudarso lahir di periode ini (1946-1950), yang juga menjadi sumber-sumber awal perkembangan laku artistiknya. Sudarso memang telah berkarya sejak tahun 1935. Sialnya, belum ada dokumentasi atau arsip apapun yang menerangkan keberadaan karya-karya yang dia buat pada kurun waktu 1935-1945.

Situasi sosial-politik di masa revolusi fisik agaknya cukup mempengaruhi corak lukisan Sudarso. Terutama jika yang kita bicarakan adalah lukisan figur perempuannya yang banyak lahir setelah tahun 1949: perempuan dengan busana kebaya, kain jarik, dan sarung bermotif tertentu yang tengah duduk di atas batu atau kursi dengan latar yang tampak sunyi.  Karya-karya yang dihasilkan Sudarso dari 1946-1949, beberapa di antaranya adalah: “Suboharsono Cinema, Yogyakarta” (1946, 44×60 cm) yang menjadi koleksi Asia Pacific Collection, Nusa Dua, “Berjualan” (1946, 69 x 51 cm) dan “Pasar” (1947, 108 x 77 cm) yang menjadi koleksi dari Museum Fatahillah, “Sarapan Pagi (1946, 60 x 44 cm), Si Genduk (99 x 67 cm, tahun 1947) dan “Gerobak Sapi” (1948, 74 x 60) yang dikoleksi Dr. Oei Hong Djien, “Tania Dezentje” (101 x 68 cm, 1947) yang dikoleksi Benny Hidayat, “Asiyah sedang menjahit” (1947, 108 x 77 cm) yang dikoleksi Aris Hanarko, serta dua karya lain yang dia buat sewaktu mengunjungi Bali, “Temple in Campuan”, (1949, 108 x 85 cm) dan “River of Campuan”, (1949, 108 x 85 cm).Belum ada keterangan cukup kuat apakah Sudarso juga terjun ke garis depan untuk mengabadikan peristiwa di masa revolusi fisik, seperti dua–meminjam istilah Nasjah Djamin–konco atau kawan sejalan hidupnya, Affandi dan Hendra. Mereka melukiskan situasi yang lebih “genting” dan “terburu-buru”, sementara Sudarso tidak begitu aktif beredar di sekitar medan perang. Paling jauh, yah, lokasi yang terbilang masih aman. Seperti melukiskan Tania Dezentje dan Si Genduk.

Sudarso mengambil sorotan lain yang juga menunjukkan ketegangan atau kehidupan masyarakat di zaman tersebut. Bagi sejumlah seniman, setiap momen yang berlangsung, setiap objek yang diabadikan–meskipun itu bukan bedil dan sekadar orang bakulan (berjualan)–tetap membawa nuansa revolusi. Pun bukan hanya melalui slogan dalam poster, melainkan juga cara mereka merepresentasikan kemanusiaan melalui warna dan garis.

Pada periode ini juga ada hal yang cukup menarik untuk dicermati: kesamaan corak warna antara karya-karya yang dihasilkan oleh Sudarso dengan karya Hendra Gunawan dan Affandi. Corak warna yang cenderung memunculkan kesan suram pada banyak karya yang lahir di masa itu sering dikaitkan dengan semangat revolusi. Namun, pada kenyataannya ada alasan lain yang sifatnya lebih teknis, yakni persoalan material. Tidak banyak seniman yang mampu mengakses material secara leluasa. Mereka menggunakan atau mengakali apa yang tersedia. Sudarso sendiri menggunakan cat PAR yang terlebih dahulu diendapkan untuk dipisahkan dari minyaknya. Setelah itu dicampur dengan minyak tanah, sebab minyak terpentin masih sukar didapatkan. Sehingga, corak warna pada lukisan Sudarso (dan seniman-seniman lain di masa itu) bernuansa doff, kelihatan kusam atau buram karena sifat material yang digunakan.

Dari soal gaya lukisan, Sudarso melukis dengan membagi perspektif ruang lukisannya dalam beberapa lapis; bagian depan, tengah, dan belakang. Dia menonjolkan satu bagian dan meredam bagian lainnya sehingga kesan ruang dalam lukisannya terbentuk. Praktik seperti itu sangat dipengaruhi oleh gaya lukisan yang berkembang sebelumnya. Perbedaannya, karya Sudarso sama sekali tidak “bersih”. Cat-cat “buangan” hampir ada di setiap bagian lukisan, tetapi mampu disesuaikan.

Karya Sudarso yang cenderung bergaya impresionistik bisa kita lihat pada karyanya yang berjudul Pasar (1947). Lukisan tersebut menggambarkan suasana di sebuah pasar tradisional, tetapi tidak menjadikan aktivitas dari orang-orang yang dilukiskan sebagai sorotan utama. Kita memang dapat menangkap suasananya, di mana ada yang berjualan dan yang berbelanja, bakul-bakul jualan, kursi panjang dengan dua orang laki-laki yang duduk di atasnya, serta objek pepohonan. Pada lukisan yang didominasi warna hijau gelap dan coklat tua ini, Sudarso seolah-olah tidak mengarahkan kita pada satu titik. Objek yang ditampilkan memang agak dominan di sebelah kanan, tetapi bukan berarti itu menjadi objek utamanya–dan lagipula, tidak ada objek yang dibuat dengan benar-benar detail. Dia seperti mengajak kita untuk melihat dari jangkauan pandangnya ketika membuat lukisan ini, dari objek/subjek terdekat hingga yang terjauh.

Setiap objek terbentuk karena permainan cahaya dan dibangun dari tumpukan warna. Kulit atau pepohonan, misalnya, dibentuk dari penggunaan warna yang berbeda, bukan dari garis. Garis tidak begitu dominan untuk membentuk objek, tetapi melalui tumpukan warna. Sudarso mampu membangun perspektif atau kedalaman ruang dengan memainkan warna dan cahaya. Kesan jauh-dekatnya atau kedalaman ruangnya dibentuk oleh permainan cahaya dan marka kuas yang kontras. Sudarso berfokus untuk mengabadikan suasana yang ia tangkap secara langsung alih-alih menegaskan bentuk, entah itu objek pohon maupun figur-figur manusia.

Asiyah dan model lukisan

Agresi Militer Belanda yang kedua berlangsung di tahun 1948. Kota Yogyakarta jatuh dan memaksa sebagian orang meninggalkan kota ini. Begitu juga Sudarso dan keluarganya yang memutuskan meninggalkan Yogyakarta dan hendak kembali ke kampung halamannya. Sudarso–bersama istrinya Asiyah dan tiga anaknya, Sugiyanto, Sugiyanti, Sudarwati–berangkat dari Yogyakarta menggunakan sebuah sepeda dengan sekadar berbekal tikar, brambang (bawang merah), garam, dan rujak. Mereka berjalan mengambil rute Jalan Daendels, melewati garis pantai di daerah Purworejo serta Kroya. Di tengah jalan, mereka dicegat tentara KNIL. Oleh karena lokasi yang hendak dituju telah menjadi daerah kekuasaan Belanda, mereka akhirnya diangkut menggunakan kereta api menuju Jakarta.

Sudarso dan keluarganya baru kembali ke Yogyakarta tahun 1950. Dia menempati kediamannya di Sentulrejo sembari membantu untuk mengurus pengelolaan Sanggar Pelukis Rakyat. Sepeninggal Hendra Gunawan dan keluarganya yang pindah ke kota lain, keluarga Sudarso bisa dikatakan menjadi salah satu tiang penyanggah bagi keberlangsungan Pelukis Rakyat. Terutama Asiyah, yang harus memikirkan logistik (makanan) bagi seniman-seniman muda yang indekos di Sanggar Pelukis Rakyat. Untuk memenuhi keperluan itu, menurut penuturan Sugiyanti, Asiyah seringkali mesti mencari pinjaman di pegadaian. Terlebih lagi di masa-masa tersebut lukisan Sudarso tidak selalu terbeli. Utang-utangnya baru dibayar ketika lukisan Sudarso laku terjual. Sudarso yang mengajar di ASRI hanya beberapa tahun saja, tidak mempunyai pekerjaan lain selain melukis. Jadi Asiyah lah yang cukup banyak berperan dalam menopang aktivitas keseniannya di Pelukis Rakyat.

Sudarso dan Asiyah pertama kali bertemu di tahun 1938. Sudarso baru saja pindah dari Bandung ke Jakarta. Asiyah merupakan putri dari pemilik kontrakan dimana Sudarso tinggal di daerah Pisangan Lama. Mereka lalu menikah dan hidup bersama selama beberapa dekade. Asiyah mempunyai peran yang penting dalam perkembangan artistik lukisan figur perempuan Sudarso yang dibuat pada periode 1950-1970 an akhir. Jarik, kebaya, angkin, sarung, dan selendang yang dikenakan oleh sebagian besar model lukisan Sudarso di periode tersebut merupakan koleksi Asyiah. Sementara untuk model lukisan telanjang, Asyiah bertindak selaku “juru runding”.

Pada saat melukis model telanjang, sebagaimana diakui oleh putra dan putrinya, Sudarso kerap melakukannya di dalam kamar yang tertutup dan Asiyah selalu ada di ruangan yang sama untuk menemaninya. Dia juga mempunyai metode sendiri dalam melukis model telanjang, terutama ketika dia dibantu oleh asisten dalam melukis. Sudarwoto menceritakan;

“Bapak itu kalau (melukis) nude, nek nganu yo, kamar ditutup ndisek. Kadang- kadang kalau nanti ada asistennya, Mbah Kakung itu, (modelnya) pakai celana dalam saja sama BH gitu. Tapi nganune wis kecekel, pokok e garis e kiy wis, anatomi e wis kecekel karo Mbah Kakung ndisek, gitu lho. Yang lainnya kan cuma bantu-bantu ngeblok. Kalau semuanya dari Mbah Kakung, anatomi terutama. (sementara) Wajah kan bisa diubah.”

Hubungan antara Sudarso dengan sejumlah model untuk lukisannya tampaknya bukan sekadar hubungan transaksional–dalam pengertian sekadar membeli jasa. Seperti pada kasus tiga model yang panggilannya kebetulan sama, “Jum”. Tiga model tersebut cukup dekat dengan keluarga Sudarso. Relasi semacam itu juga memudahkan Sudarso ketika hendak membuat lukisan telanjang, sebab sudah ada rasa saling percaya dan rasa aman bagi modelnya sendiri. Hingga saat ini, anak-anak Sudarso masih membangun hubungan yang baik dengan salah satu model yang masih hidup, yakni “Jum gede,” yang usianya sudah sangat sepuh. Sudarso juga sempat mengunjungi model-modelnya di masa lalu saat dia masih hidup, salah satunya Kedah.

Dalam hal pemilihan model untuk lukisan-lukisannya, terutama figur perempuan, Sudarso juga memiliki parameter sendiri. Rambut dari perempuan yang menjadi modelnya mesti panjang. Dan pada lukisan figur biasanya, rambutnya digelung atau dikonde secara manual (tanpa menggunakan rambut palsu).Ada sejumlah model yang selalu menjadi favorit Sudarso, yakni Kedah yang menjadi model lukisan Dik Kedah, istri dari seorang pegawai ASRI yang bernama Sentot, lalu tiga perempuan yang ia panggil Jum: Jum duwur, Jum gede, dan Jum cilik. Di luar dari empat nama itu, juga ada Kustiyah, model untuk lukisan Kustiyah (1969) yang menjadi salah satu koleksi Museum Fatahillah, Jakarta. Dan dari empat model tersebut, Kedah dan Jum duwur menjadi yang paling lama bekerja dengan Sudarso.

Untuk lukisan telanjang, “tiga Jum” yang biasanya diandalkan Sudarso sebagai model. Pada lukisan Arjunawiwaha, Jum gede menjadi modelnya. Dan pada sejumlah lukisannya yang lain, Jum duwur dan Jum cilik yang banyak berperan. Jika tiga model andalannya itu berhalangan, sementara Sudarso memerlukan model untuk lukisan telanjang, dia akan mencari model di tempat prostitusi seperti Pasar Kembang. Yang bertugas mencari biasanya anak-anak atau kawan-kawannya, sementara yang berperan untuk bernegosiasi adalah Asiyah.

Selain melukis figur perempuan, beberapa kali Sudarso juga melukis model laki-laki. Tidak banyak memang, dan umumnya lukisan potret. Salah satu lukisan tersebut berjudul Lek Kampret (1970), tukang kebun yang membantu pekerjaan di kediamannya dan juga di Pelukis Rakyat. Seperti corak lukisan figur perempuan yang ia buat, Lek Kampret juga menunjukkan kekhasan goresan Sudarso pada masa primanya.

Hijau Telek KudaBisa kita katakan, periode 1950an-1970an akhir adalah masa puncak Sudarso dilihat dari jumlah karya yang dihasilkan dan corak lukisannya. Salah satu lukisan yang lahir pada periode 1950 an adalah “Dik Kedah” (1952), karya yang disebut-sebut sebagai masterpiece Sudarso, yang kemudian dikoleksi oleh Soekarno. Karya ini pula yang mula-mula mengawali apa yang kita kenali sebagai “gaya” Sudarso: yang detail dalam menggambarkan kaki, tangan, dan juga wajah.

Dik Kedah bukan hanya lukisan yang mula-mula menandai identitas visual Sudarso. Lebih dari itu, lukisan ini agak berbeda jika dijejerkan dengan lukisan figur perempuan Sudarso lainnya. Dik Kedah tidak ngelangut, tidak pula duduk dan berpose dengan kaki menyilang sebagaimana yang biasa kita temukan pada lukisan serupa.

Ciri khas lain yang bisa kita lihat adalah motif-motif dari busana yang dikenakan. Dia menggambarkan motif-motif tersebut dengan realistik dan umumnya berupa motif pesisiran seperti buketan. Motif selendang dalam lukisan Dik Kedah, misalnya. Pada zaman Belanda, motif semacam itu muncul dan berkembang di wilayah pesisir.

Latar yang digunakan Sudarso di dalam lukisan tersebut juga bukan latar yang datar. Ada satu objek yang cukup mencolok di sana, yakni sebuah pabrik dengan asap yang menyembul dari corongnya. Di zaman itu, hanya ada satu tempat yang dapat kita tengarai sebagai objek yang ada pada latar lukisan Sudarso: pabrik gula Madukismo di Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Tentu saja Dik Kedah tidak dilukis dengan berlatar demikian saat itu. Sudarso menghadirkan latar itu belakangan, bukan sebagai objek yang memang ada di sana.Sudarso menggambarkan suasana yang sekilas sunyi, temaram dan sedikit muram, tetapi sekaligus menampilkan hiruk-pikuk pabrik. Objek pabrik tersebut menjadi daya ganggu yang cukup kuat di dalam lukisan ini. Kesan sunyi dipecah dengan kehadiran objek tersebut, menginterupsi pemaknaan awal kita saat pertama kali melihat lukisan itu. Kesan yang berbeda akan kita temukan saat melihat lukisannya yang lain, yakni potret Dik Sudilah (1953) dan Dik Djum (1966).

Corak warna latar pada dua lukisan tersebut serupa dengan lukisan Dik Kedah. Kesan yang hendak dibangun juga sama. Namun, pada dua lukisan itu, tidak ada objek pendukung yang cukup kuat di dalamnya. Sudarso, pada dua lukisan itu, sekadar menonjolkan kualitas garapannya pada figur-figur yang dilukiskan, meski dengan bentuk ekspresi yang berbeda dengan Dik Kedah. Seperti galibnya lukisan figur perempuan Sudarso, bagian kulit pada kaki, tangan, dan wajahnya selalu disertakan warna hijau telek kuda, (jenis warna dark olive green). Detail lain bisa kita lihat pada bagian telapak kaki lukisan figur Dik Djum. Selain corak hijau telek-nya, Sudarso juga menggambarkan noda hitam di bagian telapak kakinya. Kecenderungan ini setidaknya berlaku pada hampir semua lukisan figurnya, terutama yang dibuat dalam rentang tahun 1950-1980 an dan sejumlah kecil karya di masa senjakalanya.

Tiga lukisan di atas masih didominasi oleh corak warna yang relatif gelap. Meskipun begitu, Sudarso juga telah menggunakan elemen warna lain di luar dari warna ‘tanah’ seperti yang tampak pada gaya lukisannya di periode 1946-1949. Penggarapan subjek lukisannya juga menjadi lebih halus, proporsi anatominya disempurnakan, dan jejak garisnya tidak lagi kasar. Dibandingkan Si Genduk dan Tania Dezentje yang jejak garisnya begitu kentara dan kasar.

Dari segi metode kerja, di era ini Sudarso lebih banyak melukis di dalam “studio”, dalam hal ini kediamannya di Sentulrejo. Kalaupun dia melukis secara on the spot, yang dilukiskan adalah lukisan landscape. Dia tidak lagi berkeliling mencari objek/subjek lukisan seperti saat melukis Si Genduk. Tentu hal tersebut juga berpengaruh pada penggambaran latarnya. Sudarso sangat mengutamakan presisi saat melukis figur, sehingga kesempurnaan subjek yang dilukis menjadi hal utama baginya. Di sejumlah lukisannya, latarnya kadang terasa seragam, kadang juga sesuai dengan apa yang tampak saat itu; entah dengan latar jendela, kamar tidur, maupun perabotan seperti meja dan kursi yang memang hadir saat itu.Karya lain yang juga penting kita lihat pada periode ini adalah “seri” karya pewayangannya. Sebenarnya bukan karya berseri dalam pengertian yang sebenarnya. Akan tetapi karya-karya yang mempunyai tema serupa yang dibuat oleh Sudarso di tahun 1960an dan 1970an. karya-karya tersebut adalah “Ramayana” (1960), “Arjunawiwaha” yang dibuat tahun 1961 dan dibuat ulang tahun 1964, serta “Ken Arok” (1971). Dia mengadaptasi kisah-kisah dalam kakawin dan perwayangan Jawa, berupaya menggambarkan satu atau beberapa adegan cerita dalam satu bidang kanvas.

Lukisan Arjunawiwaha mulanya dibuat oleh Sudarso atas pesanan dari Soekarno untuk dipajang di Hotel Indonesia. Saat itu Soekarno memang tengah gencar-gencarnya menggagas proyek untuk mengisi sejumlah ruang baru dengan karya seni. Pelukis Rakyat juga aktif terlibat untuk membuat karya pesanan Soekarno, seperti mozaik yang diletakkan di salah satu lantai Hotel Ambarukmo Yogyakarta.

Agus Dermawan T. mencatat, Arjunawiwaha merupakan tema yang disodorkan langsung oleh Soekarno. Kisahnya tentang pertapaan Arjuna di Gunung Mahameru dan diuji oleh para dewa dengan mengirimkan tujuh bidadari (dipimpin oleh Dewi Supraba dan Dewi Tilotama) untuk menggoda Arjuna. Dia tak bergeming sehingga memaksa para bidadari kembali ke langit. Berturut-turut kemudian Batara Indra dan Batara Siwa yang datang dengan tujuan untuk membuyarkan konsentrasi Arjuna tetapi tak sanggup jua. Arjuna pun berhasil melewati ujiannya dan mendapatkan hadiah dari para dewa.

Kakawin Arjunawiwaha kiranya cukup populer dalam bentuk adaptasi pewayangan Jawa. Naskah yang ditulis oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Raja Airlangga (1019-1042) itu merupakan petikan dari Kitab Mahabharata parwa ketiga, yakni Wana Parwa yang menceritakan pemusnahan sang Miraksasaraja Prabu Niwatakawaca. Umumnya, cerita yang berasal dari teks semacam itu belum sepenuhnya terakses oleh masyarakat. Meskipun Soekarno mempunyai minat yang cukup besar pada kesusastraan Jawa, belum jelas diketahui apakah dia (ataupun Sudarso) pernah membaca kakawin tersebut secara langsung. Kemungkinannya, cerita tersebut didengarkan dari pewayangan.

Kakawin Arjunawiwaha adalah naskah tertua di Jawa Timur dan sangat menarik asal-usulnya. I Kuntara Wiryamartana, penerjemah naskah Arjunawiwaha ke dalam bahasa Indonesia, menceritakan bahwa kisah dalam naskah tersebut merupakan hasil “salah tafsir.” Kesalahan yang justru melahirkan kisah monumental yang dipegang dalam kepercayaan masyarakat Hindu-Jawa.

Kisah hasil “salah-tafsir” yang dituturkan Soekarno kepada Sudarso tersebut lah yang diolah lagi menjadi sebuah karya lukis. Tentu saja dengan kerangka penafsiran Sudarso sendiri. Saya juga cukup yakin bahwa Sudarso mestinya tidak asing dengan cerita itu, mengingat kegemarannya pada wayang di masa lalu.

Mengenai ukuran karya Arjunawiwaha, ada sejumlah perbedaan informasi. Agus Dermawan T., lewat tulisannya tentang lukisan ini, sebagai tulisan terbaru yang dikutip saat penelitian ini dilakukan, hanya menyebutkan “berukuran sangat besar”. Adapun Mikke Susanto menyebutnya sebagai “lukisan dinding” (mural) yang merespons dinding sepanjang 500 x 300 cm di Hotel Indonesia bersama karya Gambiranom, dan Lee Man-Fong. Nasjah Djamin dan Sides Sudyarto menyebutkan ukuran 2 x 17 meter. Sudarwoto, anak keempat Sudarso yang saat itu berumur 11 tahun, menunjuk angka 7 meter. Sementara kakaknya, Sugiyanto, anak pertama Sudarso, menyebutkan ukuran 17 meter x 160 cm.

Sulit untuk memastikan ukuran sebenarnya dari lukisan itu. Sejumlah foto yang beredar sangat terbatas. Salah satu foto yang sering dijadikan rujukan tentang lukisan itu adalah foto yang menunjukkan Soekarno bersama sejumlah tamu tengah bercengkrama di hadapan lukisan Arjunawiwaha. Dari tulisan Agus Dermawan T., di tahun 2020 lukisan tersebut direstorasi oleh Michaela Anselmini. Sejak lama, lukisan tersebut tidak lagi dipajang. Sudarso sendiri, dalam wawancaranya pada tahun 2002, sempat menyebutkan bahwa karya tersebut tidak lagi dipajang dan hanya digulung serta masih tersimpan di Hotel Indonesia. Agar bisa membuat karya itu, Sudarso mengajukan permohonan izin untuk merenovasi rumahnya. Sudarso meminta penambahan ruang bangunan sementara yang berukuran: tinggi 5 meter, lebar 6 meter, dan panjang 16 meter.

Sugiyanto ingat betul dengan penambahan ruang atau bangunan sementara di kediaman mereka saat itu. Dia juga menyebutkan keterlibatannya dalam membuat kanvas yang digunakan Sudarso untuk melukis Arjunawiwaha. Kain yang dipergunakan saat itu adalah kain Mori, sebab di antara banyak kain yang tersedia pada zaman itu, kain Mori satu-satunya kain di pasaran yang mempunyai lebar lebih dari 140 cm. Kain tersebut dilapisi dengan rebusan kanji, lalu plamir dengan cat dasar.

Secara visual, lukisan tersebut mencuplik adegan ketika Arjuna, yang larut dalam pertapaannya, digoda oleh tujuh bidadari yang digambarkan mengenakan kemben. Sayangnya, karena reproduksi foto yang tersedia tidak berwarna, menjadi sulit untuk menebak seperti apa corak warna yang Sudarso gunakan untuk lukisan itu. Akan tetapi jika melihat karyanya yang bertema serupa, corak warna yang dipakai relatif lebih cerah.

Sikap Politik Sudarso

Sampai pada tahun 60 an pertengahan, Sudarso begitu produktif melahirkan sejumlah karya yang dianggap sebagai karya-karya terpentingnya. Beberapa karya tersebut menjadi koleksi Soekarno. Hubungan antara Sudarso dan Soekarno memang diakui berbagai pihak juga relatif dekat. Dalam beberapa momen, Soekarno selalu menyempatkan diri untuk mampir ke Sentulrejo. Sudarso juga berkali-kali bertemu Soekarno di istana negara, baik itu di Gedung Agung Yogyakarta, Istana Kepresidenan di Jakarta, atau di Istana Bogor.

Salah satu peristiwa yang juga menunjukkan kedekatan mereka dituliskan oleh Mikke Susanto. Kejadiannya berlangsung pada tahun 1955, ketika Soekarno mengunjungi kampus ASRI Yogyakarta. Sudarso disebut-sebut turut menjemput dan menemani Soekarno berkeliling ke ASRI, Sonobudoyo, dan Pelukis Rakyat. Kebetulan saat itu juga tengah berlangsung pameran di Sonobudoyo, dimana sebuah karya patung Amrus Natalsya dibeli oleh Soekarno. Mengutip penuturan Amrus, Mikke menuliskan bahwa setelah pameran tersebut, termasuk untuk urusan hasil penjualan, ditangani oleh Sudarso. Dia berangkat ke Jakarta untuk mengurusi karya yang telah dibeli dan membawa uang yang dibayarkan Soekarno untuk diserahkan kepada para seniman.

Lalu, apakah Sudarso juga turut “mewarisi” cita-cita politik Soekarno? Bagaimana nasibnya pasca-peristiwa 1965, ketika sebagian besar loyalis dan kawan dekat Soekarno ditangkap dan hilang? Hendra, orang yang menjadi konco bagi Soedarso turut dipenjara, dan Trubus–orang yang pernah diakui adik oleh Sudarso–malah hilang, tidak diketahui nasibnya hingga kini. Apalagi Sudarso adalah salah satu seniman senior di Sanggar Pelukis Rakyat, yang acap kali dikait-kaitkan dengan LEKRA.

Sekali waktu, dalam sebuah wawancara, Sudarso mengungkapkan hal seperti ini: “Seniman didekati oleh politikus saat politik bergolak. Sudjojono itu pintar sekali bicara. Hendra terkena pengaruh Sudjojono. Dia dipergunakan oleh politikus. Tetapi saya tidak ikut kelompok manapun karena saya tidak suka politik.” Di tahun itu, Sudarso terlalu sibuk mengurusi anak-anak dan istrinya sehingga tidak begitu banyak terlibat di dalam konfrontasi ideologis. Dan tepat ketika puncak peristiwa pasca-65 berlangsung, disebutkan bahwa sulit untuk membedakan mana “kawan” dan mana “lawan”, mana seniman yang berafiliasi dengan LEKRA, dan mana yang bukan.

Sudarso disebutkan pernah bergabung/berada di LEKRA. Dia mengikuti Affandi ketika masuk Lekra, tetapi keduanya keluar begitu begitu lembaga ini dibelokkan untuk kepentingan partai komunis. Tidak ada catatan khusus mengenai apa saja yang dilakukan Sudarso selama berada di LEKRA. Boleh jadi memang dia hanya numpang lewat dan tidak mempunyai tendensi apa-apa selain ikut Affandi.

Suasana pasca-1965 memang tampak mencekam dan berimbas pada sanggar Pelukis Rakyat, yang markasnya berada di lokasi yang sama dengan kediaman Sudarso. Salah satu warga, Bapak Tarno, yang kebetulan putra pemilik rumah yang dikontrak oleh Sudarso, menceritakan suasana di Sentulrejo saat itu. Sanggar Pelukis Rakyat yang biasanya ramai oleh seniman mendadak sepi. Tidak ada yang berani mendekat ke sanggar, apalagi seniman yang tergabung di dalamnya. Sanggar akhirnya kosong melompong selama beberapa waktu karena Pelukis Rakyat turut ditengarai menjadi afiliasi dari Partai Komunis Indonesia. Oleh karena itu, banyak barang yang tertinggal di dalam sanggar, termasuk sejumlah lukisan dan patung. Sugiyanto dan juga Sudarwoto sempat mengamankan beberapa karya yang ada di sana. Beberapa patung tak bernama dan tidak jelas siapa pemiliknya, sampai saat ini bahkan masih berada di kediaman mendiang Sudargono. Belum bisa dipastikan memang apakah patung-patung tersebut masih terkait dengan Pelukis Rakyat atau tidak, tetapi patung-patung itu telah lama berada di sana.Selepas peristiwa 65, Sudarso kehilangan sejumlah rekan. Dia sendiri aman dan tidak dicurigai sebagai bagian dari PKI. Jadi, meskipun dekat dengan Soekarno, Sudarso sepertinya tidak begitu peduli dengan cita-cita politiknya. Secara gagasan dan sikap politik, dia tidak terafiliasi dengan blok ideologis manapun. Dia hanya dikenali sebagai seorang pelukis yang pendiam. Menjadi masuk akal jika kemudian di tahun 1966-1967, dia sempat mengajar seni rupa di AMN/AKABRI atas ajakan Gubernur AKABRI saat itu, Letjen A. Tahir. Selain itu, di tahun 1967, bersama Nasjah Djamin dia diutus ke Malaysia oleh L.B. Moerdani dalam rangka ‘misi kebudayaan’ dan meredakan tegangan antara kedua negara.

Misi ‘kebudayaan’ yang dilakukan Sudarso atas permintaan L.B. Moerdani memang menarik untuk diulik lagi. Sayangnya, belum ada data yang cukup memadai perihal itu. Akan tetapi, kita juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa memang Sudarso sangat dekat dengan sejumlah pihak, termasuk dari pihak militer sendiri ataupun pejabat (selain Soekarno) seperti Adam Malik. Menjadi hal wajar ketika Sudarso dianggap sebagai figur yang dekat dengan Soekarno tetapi mempunyai sikap politik netral. Benarlah kata Nasjah Djamin, bagi seniman seperti Sudarso, yang paling utama adalah berkarya. Sudarso mencurahkan seluruh perhatiannya untuk melukis.

Repetisi

Usia sulit dilawan. Memasuki tahun 80 an, Sudarso tidak semagis sebelumnya. Tidak semua karya yang lahir pada era 80 an, apalagi 1990 an dan 2000 an yang masih “khas Sudarso”. Pada pamerannya di Bentara Budaya tahun 1987, karya-karya Sudarso dianggap tidak lagi sama. Seperti yang dituliskan Hardi: “Dulu Sudarso bisa teliti, ia mampu melukis debu yang melekat di kaki modelnya dengan cermat, serta jari-jari yang lembut, mata yang menatap kita dengan ajakan yang halus, kini dalam karyanya tahun 86 dan 87 tidak tampak lagi.”Lukisan figur Sudarso memang mulai berbeda. Corak warna yang dia gunakan lebih mencolok, terang. Latarnya kadang tidak lagi mengundang tanya dan tidak menjadi elemen yang mambangun narasi bagi subjek yang digambarkan. Garisnya beberapa kali tidak lagi lembut, tetapi ekspresif. Sering pula motif sarung yang dikenakan menjadi seadanya. Simaklah, misalnya pada lukisan yang berjudul “Kebaya Hijau” (1988), dimana subjek yang dilukiskan kelihatan “sempurna” secara anatomis. Seorang perempuan yang duduk di atas kursi dengan tatapan yang kosong, ngelangut. Ia selesai di situ saja: selesai sebagai bentuk dan tidak berusaha menggoda rasa ingin tahu kita lebih lanjut.

Sejak tahun 1978, kehidupan Sudarso juga telah berubah. Dia tidak lagi hidup bersama Asiyah. Dia kemudian menikah dengan seorang perempuan asal Jawa Timur, yakni Mariani. Dan hampir di sepanjang tahun 1980 an, Sudarso tinggal di Bali bersama Mariani. Pada periode ini, tidak sedikit karya bertema Bali yang dibuat Sudarso. Meskipun tinggal di Bali, Sudarso tetap bolak-balik ke Jakarta dan Yogyakarta untuk sejumlah urusan. Terutama di Jakarta, dimana dia kerap dimintai nasihat atau pertimbangan oleh sejumlah kolektor mengenai karya-karya dari seniman tertentu.

Kesan paling umum yang dapat kita tangkap dari karya-karya Sudarso di periode ini adalah repetisi. Tidak ada lagi kebaruan yang mampu ditawarkan Sudarso melalui lukisan-lukisan figur perempuannya, apalagi sampai menandingi mutu lukisan Dik Kedah. Sudarso melukis dengan template yang ada di dalam kepalanya. Model lukisan yang dibuat secara berulang-ulang, dari pose yang monoton hingga tatapan yang selalu kosong.Bentuk lukisan yang repetitif memang menjadi wajar bagi Sudarso di usianya saat itu. Dia melukis ibaratnya naik motor: secara otomatis sudah tahu harus memulai dari mana dan langkah-langkahnya bagaimana. Di antara banyak lukisan yang diproduksi di periode ini, ada satu karya yang terasa sangat menarik. Lukisan tersebut berjudul “Meitia Cucuku” (1990). Kekhasan Sudarso sayup-sayup tampak pada lukisan ini. Sapuannya memang kelihatan kasar dan dudukannya sama sekali tidak berbentuk. Entah mau menggambarkan batu seperti lukisan-lukisan terdahulunya atau kursi tempat Meitia duduk. Rambutnya dikuncir biasa, tidak digelung. Pakaian yang dikenakan juga bukan kebaya, tetapi tetap bersarung dengan motif buketan. Warna pada bagian kulit juga digarap seperti lukisan-lukisan lamanya: kuning dengan bubuhan hijau telek kuda di atas permukaannya.

Sudarso mempunyai cara sendiri ketika melukiskan latar lukisan. Kebiasaan ini hampir selalu ada di setiap lukisannya. Dia memanfaatkan “buangan-buangan” cat untuk diwujudkan menjadi bentuk latar. Sisa-sisa cat pada kuas ditumpuk di ruang-ruang kosong pada kanvasnya. Kadang sekadar ditumpuk begitu saja. Tumpukan-tumpukan cat itu yang kemudian dia respons menjadi bentuk latar tertentu. Sering juga berupa hasil sapuan tanpa pola dan garis-garis tak beraturan. Percampuran berbagai elemen warna dalam tumpukan cat itu dan tarikan garis ekspresifnya menghasilkan bentuk-bentuk tak terduga. Beberapa diwujudkan menjadi pemandangan alam dengan corak warna gelap, sementara yang lainnya seperti pada lukisan Meitia Cucuku, tak berbentuk sama sekali. Bukannya mengganggu subjek pada lukisan, tumpukan warna tanpa bentuk tersebut malah membantu untuk menghasilkan efek kedalaman ruang atau perspektif pada lukisan- lukisannya.

Epilog

Sudarso mengalami pahit-getirnya masa penjajahan, sulitnya kehidupan di era revolusi fisik, dan kehilangan sejumlah kawan pasca-peristiwa 65. Dalam rentang masa itu, dia telah melahirkan karya-karya terbaiknya dan memberi kontribusi bagi perkembangan seni rupa Indonesia. Benar kata Nasjah Djamin bahwa karya-karya terbaik Sudarso adalah yang dikoleksi oleh Soekarno. Namun, bukan berarti karya-karya lainnya tidak baik mutunya. Karya-karya lain dengan mutu yang tidak kalah dengan koleksi istana juga cukup banyak dan tersebar di rumah-rumah kolektor.

Sebelum tahun 1949, karyanya cenderung impresif dengan sapuan-sapuan yang mencolok. Nuansa warna pada lukisannya gelap, umumnya menggunakan warna-warna ‘tanah’: oker, hijau gelap, dan coklat tua. Proporsi-anatominya tidak begitu detail, tetapi permainan cahayanya mampu membentuk perspektif ruang yang dominan pada lukisannya. Sangat mirip dengan corak karya Affandi dan Hendra di zaman itu. Sementara Hendra dan Affandi telah mulai beralih corak di masa selanjutnya, Sudarso seringkali masih bertahan dengan corak gelapnya.

Pasca-1949, Sudarso mulai identik dengan lukisan figur perempuannya. Dia mulai menyederhanakan garis dan warna yang dipakainya. Kontras warna pada lukisannya tidak lagi dominan. Sebagai gantinya dia mulai menyelaraskan warna pada bentuk dengan sapuan yang lebih halus dan warna yang rata. Sudarso juga lebih memperhatikan detail, terutama bagian-bagian seperti wajah, kaki, dan tangan. Caranya melukiskan debu atau noda pada bagian kaki figurnya acap kali membuat takjub, baik sesama pelukis maupun penggemar karya-karyanya.

Memasuki era 80-90an, Sudarso mulai dimakan usia. Demikian juga karyanya yang dianggap tidak lagi sebagus sebelumnya. Kita bisa melihat lukisan-lukisannya yang repetitif, baik secara gagasan maupun bentuk. Apalagi jika kita hendak membicarakan karya yang dia hadirkan di masa senjakalanya, era 2000an, dimana daya yang tersisa hanya sedikit saja. Tidak ada lagi Sudarso sang pelukis realis pada era ini. Sapuannya berubah menjadi ekspresif dengan garis yang kasar dan dalam lantaran menekan getaran tangannya yang renta. Apapun itu, Sudarso telah menunjukkan semangat dari seseorang yang mendedikasikan seluruh hidupnya hanya untuk melukis.

***

*) Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian “Kaki Tangan” Pelukis Sudarso yang dilakukan pada tahun 2020 atas dukungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan melalui Program Fasilitasi Bidang Kebudayaan. Tim peneliti untuk proyek ini adalah Arham Rahman, Gintani Nur Apresia Swastika, Khairunnisa, Vini Oktaviani Hendayani, Uji “Hahan” Handoko Eko Saputro, Yudha Kusuma Putera, dan Fajar Riyanto; dengan dukungan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.