Sleazy Environmentalism by Ardi Gunawan

26 March – 23 April 2022

(English version below)

Siapa yang bisa mengenali jenis binatang yang digantung di ruang pamer ini? Sekumpulan satwa yang seakan terlahir dari campuran antara burung, kumbang dan kupu-kupu itu terlihat cocok sebagai tokoh kartun eksperimental tentang taksidermi: meski secara bentuk kita bisa melihat jelas rujukan pada binatang, tapi mereka juga jelas melenceng dari spesies yang umum diketahui. Seri karya GIF tentang flora, fauna dan habitat mereka yang ada disini pun terkesan lucu, naif dan kekanak-kanakan, tapi juga vulgar dan kasar.  

Pameran Sleazy Environmentalism menampilkan karya-karya terbaru dari Ardi Gunawan yang membahas environmentalisme melalui lensa teori queer. Pada dasarnya teori queer adalah upaya untuk mengkritisi kecenderungan heteronormatif yang membentuk norma-norma sosio-kultural;  “to queer” atau meng-queer-kan adalah mencari hal yang dibuang, disembunyikan, dianggap hina dan tidak senonoh ketika suatu norma terbentuk. Karya-karya disini adalah eksplorasi tentang aspek-aspek queer dari norma-norma tentang kesadaran lingkungan yang saat ini dipegang secara luas. 

Di Eropa abad 16, burung Cendrawasih (Inggris: bird-of-paradise) dianggap sebagai komoditas berharga yang datang dari Indonesia dan diperjual belikan oleh para pedagang Belanda dan Spanyol. Meski demikian,  burung-burung ini jarang tiba dalam keadaan utuh: tanpa sayap, bulu-bulunya menciut, dengan paruh yang terlihat terlalu besar seperti raksasa – bahkan, ada versi dimana mereka tampil tak berkaki -, makhluk-makhluk ini terlihat sebagai monster, menyimpang dari jenis unggas yang ditemui biasanya. Kisah tentang burung cendrawasih adalah suatu ilustrasi yang tepat atas bagaimana ilmu dan sejarah pengetahuan alam berkembang dari bukan hanya fantasi kolonial tentang suatu dunia yang eksotik dan belum tersentuh, tapi juga studi tentang monster: mahkluk-mahkluk yang direkayasa berdasarkan imajinasi, interpretasi dan sumber daya yang tersedia.

Klaim anti-naturalis menggagas bahwa, seperti halnya dalam legenda burung Cendrawasih, pengetahuan tentang alam dapat berubah, terbuka untuk manipulasi, distorsi dan rekayasa. “Alam” adalah sesuatu yang dikonstruk dan dirakit, bukan bersifat bawaan atau “alamiah”. Praktik Ardi disini dapat dimengerti sebagai suatu upaya untuk merekayasa alam dan menghadirkan sebuah posisi kepedulian lingkungan yang bersifat liyan. “Penyimpangan” (Inggris: perversion) adalah suatu konsep absurdis-Surealis yang disini digunakan untuk membayangkan ulang makna istilah “alam”, melampaui norma konvensional seperti,  misalnya, pentingnya pelestarian lingkungan dan menjaga kesinambungan antara manusia dan alam sekitarnya. Dengan menonjolkan aspek seksual, irasional dan humoris dari suatu realm yang kita tunjuk dan sebut sebagai “alam”, karya-karya dalam pameran ini “menyimpang” dan dengan demikian menggeser dan memperluas pemaknaan umum tentang istilah tersebut.

Pendekatan Ardi disini juga berjarak dari advokasi dan posisi mainstream tentang kepedulian lingkungan hidup saat ini, yang menggarisbawahi “kesadaran”. Ambil contohnya inisiatif pelbagai lapisan masyarakat global untuk menyuarakan kebutuhan perubahan sosial yang tidak mencederai lingkungan alam demi memenuhi agenda pembangunan. Atau, reaksi atas isu greenwashing, suatu strategi marketing perusahaan yang mengedepankan isu ekologi dan lingkungan hidup untuk membangun public image tentang kepedulian alam yang sebenarnya menutupi agenda pencarian profit korporat. Sebagai respon terhadap cara kerja dan gaya hidup yang tidak berkelanjutan (unsustainable), gerakan kepedulian lingkungan mendesak dan menghimbau semua yang terlibat dalam rantai pasokan global untuk berlaku lebih “etis” dan “menyadari” dampak kebobrokan sistem konsumerisme kapitalis terhadap lingkungan alam. 

Tentunya, ini adalah sudut pandang yang berharga. Terlepas dari itu, ada bahaya ketika semangat yang melandasi suatu sudut pandang menjadi norma yang dogmatis, monolit, dianggap selamanya benar. Seperti yang  dibuktikan oleh teori queer, setiap norma memiliki hal yang dilarang, ditutup-tutupi, dan dianggap salah: ini adalah mekanisme terbentuknya sebuah norma. Karya-karya Ardi di pameran ini menawarkan posisi alternatif terhadap kepedulian alam: bahwa kepedulian tersebut tidak selalu harus terfokus pada norma-norma agung atau luhur seperti “kesadaran” atau “kearifan”. Melainkan, kepedulian itu juga harus dimaknai melalui absurditas, ambivalensi, dan ironi. 

Bicara tentang ironi, rasanya hanya ada sedikit hal yang lebih ironis dari pola interaksi kita dengan bermacam jenis dan tipe informasi audio-visual yang difasilitasi oleh platform media sosial – seperti, tentunya, Instagram – tentang isu-isu mutakhir dan penuh polarisasi – seperti, misalnya, “kepedulian lingkungan”. Di Instagram, penggunaan istilah ini sebagai search word akan menghujani kita dengan beragam “konten”, mulai dari aktivisme remaja untuk tidak berpartisipasi dalam siklus fast fashion, opini  momfluencer tentang bahaya vaksin untuk anak-anak, hingga penggalangan dana untuk mencegah kepunahan lebah dan berita tentang bencana alam yang seakan terjadi di seluruh penjuru dunia di saat yang bersamaan. 

Bagaimana caranya untuk memahami dan mencerna persoalan apapun melalui Instagram, ditengah absurditas banjir “konten”, mulai dari feeds, stories, reels dan GIFs? Di pameran ini, Ardi menghadirkan beberapa karya animated video montage yang dibuat dari konten GIF Instagram melalui pencarian kata seperti #hunting, #bugs #birdofparadise #discovery #kill, dan sebagainya. Di satu sisi, penggunaan konten Instagram dan GIF terbilang konsisten dengan praktik Ardi sebelumnya dalam menggunakan barang-barang sisa dan buangan (misalnya pada karya Reconfiguring still: proposals for the super light, 2008; luckily there’s no inside, 2011; A Proposal for a Permanent Fixture at Ark Galerie in Two Editions: superlight, 2013). Di sisi lain, tidak seperti karya-karya sebelumnya yang dibuat dari sampah fisik yang dipulung dari area sekitar ruang pamer, karya-karya dalam pameran kali ini menggunakan sampah virtual. GIF adalah suatu bentuk teknologi kapitalis untuk menyajikan hiburan murahan dan “receh”, yang biasanya digunakan untuk menghias “umpan” media sosial seperti emoji dan “sticker”. Penggunaan GIF dalam karya Ardi menyimpang dari fungsi umum teknologi tersebut, karena pada karya-karya ini, GIF berperan sebagai sebuah sarana untuk menelusuri sisi “alam” yang konyol dan asing, menjijikkan dan menggelikan, lewat praktik kesenian.

Pendek kata, Sleazy Environmentalism menawarkan suatu perspektif halusinatoris tentang lingkungan hidup. Ditengah bisingnya desakan untuk menjadi lebih “sadar” – secara ekologis, sosial, politis, dan seterusnya – karya-karya Ardi disini membuka ruang untuk memperluas dialog tentang isu-isu kompleks seperti kepedulian lingkungan, dengan menggeser, melecehkan, dan menyimpang norma-norma yang membentuk pemahaman akan “alam” itu sendiri. 

Mitha Budhyarto
Kurator pameran

***

Sleazy Environmentalism
Pameran tunggal oleh/Solo exhibition of Ardi Gunawan
Dengan kurator/Curated by Mitha Budhyarto
26.03–23.04.2022

Klik di sini untuk mengunduh kartu pos/Click here to download postcard

***

***

Anyone would be hard pushed to recognize the kinds of animals hanging inside the gallery. Strange creatures, bastardised hybrids of a bird, beetle and butterfly, like characters from an experimental TV cartoon show about taxidermy: while there are clear references to existing species, these beasts also deviate from commonly known ones. The series of GIF works on an odd, fantastical animal kingdom are also unsettling in being simultaneously cute and vulgar, childlike but also crass and indecent. 

This exhibition presents Ardi Gunawan’s latest works, which explore environmentalism through the lens of queer theory. Queer theory is an attempt to critically unpack heteronormative tendencies that shape socio-cultural norms: “to queer” is to seek out and investigate what is discarded, put out of sight, considered improper and unsightly as a particular norm is formed. In this sense, Ardi’s work are attempts to “queer” widely held norms about environmental awareness. 

16th-century Europe, the bird-of-paradise: a precious commodity sourced from Indonesia that would later on be traded and exchanged by the hands of Dutch and Spanish merchants. The story goes that these birds rarely arrive intact: wingless, with shrivelled feathers and giant beaks that look disproportionate – there are even versions where they are said to be legless – these distorted creatures were considered both beautiful and monstrous, unlike any other avian species seen before. The story of the bird-of-paradise tells us how the natural sciences and its history evolved not only from colonial fantasies about exotic, untouched territories, but also from the study of monsters: creatures engineered from imagination, interpretation and available resources. 

Anti-naturalist claims suggest that, as in the legend of the bird-of-paradise, knowledge about the sciences are fickle, open to manipulation, distortion and fabrication. “Nature” is a constructed and assembled field, rather than a given or indeed, “natural”. Ardi’s work may be understood as an attempt to engineer nature and present an alternative position to dominant narratives on environmentalism. Surrealist methods of absurdity and perversion are used to re-imagine accepted beliefs and meanings about nature, beyond conventional norms of, say, preserving nature or promoting ecologically sustainable ways of life. By highlighting the sexual, irrational and humorous aspects of a realm that we designate and refer to as “nature”, the work in this exhibition deviate from thereby shifting and expanding commonly held norms relating to the term. 

There is no denying the value of these perspectives. Beyond that, any perspective harbours within it the danger of becoming monolithic and dogmatic. As queer theory argues, norms are shaped by exclusion and concealment: they are produced through such mechanisms of cover-up and disguise. This exhibition offers an alternate perspective on environmental care: that such care does not necessarily be limited to noble virtues such as “awareness”. Instead environmental care also needs to be interpreted and discussed through absurdity, ambivalence and irony. 

And what could be more ironic than the way we interact with various kinds of audio-visual information facilitated by social media platforms –  such as Instagram – on the latest and usually most polarising issues – such as “environmental awareness”. On Instagram, use of the term as search words will lead us to a plethora of “content”, ranging from youth activism on fast fashion, to opinionated “momfluencers” on the danger of vaccinating children, to fundraising to prevent the extinction of bees and news about natural disasters on different parts of the world that seem to be happening all at once. The more information we get, none the wiser we seem to be.

How do we even begin to make sense of anything through Instagram, through its endless waves of content, from posts to feeds, stories, reels and GIFs? The current exhibition presents a series of animated video montage from Instagram GIF content, searched by using phrases such as #hunting, #bugs #birdofparadise #discovery #kill and so on. The use of Instagram content and GIF is consistent with Ardi’s practice of using waste materials (as seen in Reconfiguring still: proposals for the super light, 2008; luckily there’s no inside, 2011; A Proposal for a Permanent Fixture at Ark Galerie in Two Editions: superlight, 2013). Whereas in his previous works physical waste products such as rubbish was salvaged from the area surrounding the exhibition space, the works in the current exhibition make use of “virtual” waste. GIF is a form of capitalist technology of cheap entertainment, regularly used to decorate social media “feeds” as emojis and “stickers”. The use of GIF in Ardi’s practice deviates from the usual function of the technology, in acting as a way to explore aspects of nature through its perversion.

In short, Sleazy Environmentalism affords a hallucinatory perspective on current environmental tropes. It is an attempt at doing environmentalism, but badly, challenging prevalent “serious” advocacies of care and awareness. 

Mitha Budhyarto
Exhibition curator