FOMO/JOMO

MERETAS MODERNITAS YANG SERBADUA/HACKING MODERNITY’S DUALISM

05–26.10.2019

Kurator: Hyphen —

Menampilkan:
Ary “Jimged” Sendy • Fajar Riyanto • Edhi Sunarso • Julian Abraham “Togar” • Mella Jaarsma • Nadiah Bamadhaj • Panca DZ • Paul Kadarisman • Uji Handoko Eko Saputro • Pius Sigit Kuncoro •

(English below.)

Dh smp, all so cray cray, lol

Yolo

Wbu, comin?

@ mums, p cape y

Idc, ktny dtg

Nbd laa

Teknologi komunikasi dan informasi telah membawa kita sampai ke sini, ke sebuah masa di mana sebagian besar dari kita dikategorikan sebagai “migran digital”. Tak sampai setengah abad lagi, kita akan punah, dan hanya para “digital natives” yang mengisi muka bumi ini. Sekarang ini, cuplikan layar[1] bisa jadi bukti yang lebih sahih daripada saksi mata. Padahal, betapa mudahnya menyunting cuplikan layar! Maka, tak aneh kalau debat dalam persidangan berlangsung melalui layar yang menayangkan ratusan cuplikan layar dan bukan lagi antar saksi mata, saksi ahli, dst. Kontribusi generasi milenial pada gaya dan cara hidup kita jelas tak terhindarkan lagi. Belakangan ini, sejumlah kamus besar berbahasa Inggris, baik di Amerika maupun di Eropa, telah menambah sejumlah kata baru yang lahir dari kenyataan daring[2]. “FOMO” adalah salah satunya. Kamus British Oxford bahkan tak lagi menjelaskan bahwa kata tsb berawal dari sebuah singkatan (fear of missing out) dan langsung pada artinya: anxiety that an exciting or interesting event may currently be happening elsewhere, often aroused by posts seen on social media.

FWIW[3], percakapan di atas bisa saja rumus matematika atau kimia atau, —sekalian— kita sikapi sebagai image! Toh, bagaimanapun, juga kata, huruf, dan gambar adalah penanda manasuka! Arti atau makna penanda-penanda ini bergantung pada kesepakatan penggunanya. What can images do? Atau, lebih tepatnya, apa yang bisa dilakukan oleh hal-hal yang tampak hari ini? (Baik gambar, foto, citraan, maupun wimba.) Banyak! Salah satu jawaban yang mengerikan adalah bahwa hal-hal yang kelihatan itu bisa jadi kenyataan! Bukan hanya ia bisa dianggap sebagai kebenaran, tetapi ia bisa benar-benar menjadi kenyataan.

Beberapa bulan terakhir ini sesungguhnya sangat meresahkan bagi kita di Indonesia. Seolah-olah hanya ada dua pilihan bagi kita saat ini, yaitu merasa takut atau merasa senang. Ikut keramaian atau tidak ikut keramaian. Memilih seolah serta-merta berarti antara yang satu atau yang lainnya. Bahkan, untuk menjadi —sesederhana— netral saja seolah tak ada lagi ruang. Internet (dan media sosial) juga tidak memperkaya pilihan biner ini. Sebagai generasi migran digital, kami bertanya-tanya kenapa menyingkat, membuat kode-kode khusus yang hanya dipahami kalangan tertentu, jadi kecenderungan yang menonjol dari generasi milenial dan Z? Kenapa kualitas militeristik ini merebak? Bisa jadi kami resah tak beralasan. Bisa jadi juga karena ini membuat kami FOMO. Pada waktu kami mulai terbiasa menggunakan kata “FOMO”, lawannya lahir: “JOMO”[4]. Duh, tentu saja, kami segera kembali khawatir! Lah, kok, kembali biner?

Perjalanan kami menuju ke penyelenggaraan pameran ini dimulai dari pertanyaan-pertanyaan sederhana mengenai berbagai kenyataan hidup yang harus dihadapi Edhi Sunarso (1932-2016). Bagaimana kenyataan-kenyataan itu mempengaruhi praktik artistik Pak Edhi? Lahir dari keluarga yang sedang-sedang saja pada masa itu, tak aneh kalau ia harus terlibat dalam beragam bentuk perjuangan. Setelah kemerdekaan, kenyataan peperangan usai. Masuklah kita pada masa yang disebut sebagai “Mengisi Kemerdekaan”. Presiden Sukarno suka menggunakan kata “perjuangan” untuk menyetarakan kenyataan hidup pra dan pasca proklamasi. Kalau sebelumnya untuk memperoleh kemerdekaan, maka yang sesudahnya adalah untuk mengisinya. Mengisi dengan apa? Persis di sini inilah percakapannya jadi menarik buat kita. Salah satu prioritas awal negara ini adalah menunjukkan kesanggupannya untuk merdeka kepada seluruh dunia. Gestur yang sebesar itu dicapai dengan membangun bermacam infrastruktur yang dibutuhkan sekaligus punya fungsi simbolik. Dengan kata lain, infrastruktur yang bisa menandakan kemampuan kita bukan sekadar untuk merdeka, tetapi juga untuk menjadi warga dunia yang modern. Sebagai ibukota, Jakarta adalah pusat di mana eksperimentasi “mempertontonkan” kebesaran bangsa baru ini berlangsung. Bandar udara internasional, persimpangan jalan bertingkat, monumen nasional, museum nasional, stadion, patung-patung sebagai monumen, dan masih banyak lagi.

Dalam dua dekade awal pembuktian kebesaran bangsa ini, Pak Edhi ikut berjuang. Dia dititipkan pembuatan (setidaknya) tiga monumen pertama di Indonesia. Ada banyak kisah dan catatan seputar pembuatan ketiga monumen ini, baik secara kesejarahan maupun dalam sejarah seni rupa kita. Bahkan, bisa dikatakan Pak Edhi hanya dikenal untuk ketiga monumen ini. Padahal, ia juga mengerjakan (setidaknya) 11 diorama di sejumlah museum di Jawa. Diorama-diorama ini bertanggung-jawab untuk: memvisualisasikan data sejarah [dengan tujuan] untuk memasyarakatkan nilai-nilai sejarah perjuangan nasional kepada generasi penerus. [Melalui diorama] Masyarakat dapat melihat dan meresapi peristiwa sejarah melalui adegan yang digambarkan secara miniatur dengan menampilkan suasana/setting sesuai dengan kejadian sesungguhnya.[5] Diorama-diorama ini menarik perhatian kami setidaknya karena dua hal. Pertama, mereka tidak magrong-magrong berusaha menggapai langit atau memaksa manusia menengadah, namun punya efek monumental dalam kehidupan kewarga-negaraan kita. Bagaimana tidak, hampir semua anak sekolah di Jakarta, atau yang sedang mengunjungi Jakarta, harus mendatangi dan membuat karya tulis mengenai museum-museum ini. (The devils are indeed in the details!) Kedua, lebih dari dua dekade setelah katanya demokrasi berjalan dengan sehat, narasi sejarah nasional kita —yang dirupakan oleh diorama-diorama ini— masih saja hasil karangan sekelompok elit berseragam —yang dituliskan oleh seorang saja.

Pada 2014, ketika kami mulai membangun percakapan dengan Pak Edhi, kami langsung menyasar pada proses pembuatan diorama-diorama ini. Pertanyaan-pertanyaan awal kami berkutat pada soal perpindahan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto, dari orde yang kemudian disebut lama sampai dengan orde yang menyatakan dirinya sebagai yang baru. Selain wawancara, kami juga mengoprek beragam dokumentasi pemesanan diorama oleh negara. Ada dua nama museum menghenyakkan kami: Museum Ekstrem Kiri dan Museum Ekstrem Kanan. Kedua museum ini jelas tidak ada! Ternyata, kedua nama itu hanyalah nama yang digunakan dalam proses pembangunan kedua museum. Ternyata, sekarang kita bisa mendatangi kedua tempat itu dengan nama Museum Pengkhianatan PKI (Komunis), di Kompleks Lubang Buaya, dan Museum Waspada Purbawisesa, di Kompleks Pusat Sejarah ABRI. Dualitas-dualitas yang terus bermunculan ini mengganggu kami. Masak, sih, pilihannya hanya di antara dua? Sukarno atau Suharto? Lama atau baru? Kiri atau kanan? Panjang atau pendek? Tinggi atau rendah? Benar atau salah? Menang atau kalah? Betapa terbatasnya pilihan kita!

Bahkan pada pemilihan presiden kemarin, pilihan kita hanya dua! The new Old or the old New! Yang baru tapi sudah pernah atau orang lama yang baru! Tak ada yang benar-benar baru, tak ada yang benar-benar lama. Tak ada yang benar-benar benar, tak ada yang benar. Segera saja kami menjadi bosan! Ternyata, yang biner-biner bukan hanya mengkhawatirkan tapi juga membosankan! Separuh bercanda, kami bahkan menamai perangkat digital penyimpan data kami sebagai: Museum Ekstrem Tengah. Sembari mendigitalisasi sekaligus membangun arsip Pak Edhi, sepanjang 2016, kami mulai mengajak sejumlah teman seniman untuk ikut melihat praktik artistik Pak Edhi dari dekat sekaligus ikut mengoprek arsip. Kami yakin bahwa teman-teman seniman ini pasti punya sudut pandang dan cara baca yang berbeda dari kami yang sehari-hari bekerja sebagai kurator, manajer, peneliti, dan penulis seni rupa. Pengalaman hidup, sensibilitas kerupaan, dan kepiawaian merupa mereka akan bisa setidaknya menawarkan ragam pilihan lain. Pilihan yang lebih dari sekadar dua tadi.

Pameran ini adalah sebuah upaya untuk memandang dari jarak yang sedekat mungkin, melihat dengan teliti dan hati-hati, serta mempertanyakan diorama-diorama yang digarap Pak Edhi di bawah semua rezim penguasa yang bisa kita bayangkan secara kategori. Para seniman dalam pameran ini punya rekam jejak kekaryaan yang berkelindan dengan praktik kekuasaan yang mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dalam beragam lingkungan hidup yang mereka pilih, dalam keberpihakan mereka. Praktik artistik mereka cenderung meretas kenyataan-kenyataan hidup ketimbang menentang, apalagi menantangnya. Senarai karya yang akan Anda alami lebih dari sekadar “pernyataan” rupa para senimannya, karya-karya ini juga mengandung pertanyaan, renungan, sekaligus spekulasi. Alaminya, karya-karya ini berwujud, berupa —baik dalam diam, gerak, bermacam dimensi, beragam medium—, maka dari itu otak kita akan memprosesnya sebagai citraan. Jangan lupa, citraan ini bisa jadi tidak mentah-mentah seperti apa yang kita lihat. Penanda-penanda rupa ini juga belum tentu menandakan apa yang kita inginkan. Citraan-citraan ini adalah wimba—obyek yang dicandra, digambarkan, dideskripsikan dalam bidang. Citraan ini menubuhkan sensibilitas para pembuatnya, walau bisa juga ia menjadi sesuatu yang tidak serta-merta disepakati oleh para senimannya. Bisakah kita meretas cara berpikir kita sendiri? Puaskah kita dengan yang biner? Mungkinkah ada pilihan lain?

Yogyakarta & Hong Kong,

September 2019

Hyphen —

*) Sekarang ini, Hyphen — adalah duo++ peneliti Ratna Mufida dan Grace Samboh, beserta sosok Pitra Hutomo dalam hati dan pikiran kami. Bersama, kami terus berusaha mengerjakan penelitian mengenai praktik-praktik artistik di sekitar kami sambil mencoba menerbitkan hasilnya dengan sedikit susah-payah.


[1]     screenshot

[2]     online

[3]     for what it’s worth

[4]     joy of missing out. You’re enjoying what you’re doing in the here and now and not on social media broadcasting or seeing what everybody else is doing. Opposite of fomo or the fear of missing out. (www.urbandictionary.com)

[5]     Proposal Tim Perencana dan Pelaksana, ISI Yogyakarta, Penelitian dan pelaksanaan pembuatan diorama sejarah perjuangan nasional, Benteng Vredeburg, Yogyakarta, 1985.

***

Dh smp, all so cray cray, lol
Yolo
Wbu, comin?
@ mums, p cape y
Idc, ktny dtg
Nbd laa

The communication and information technology has brought us here, to a time
where most of us are categorized as “digital migrants”. In less than half a
century, we are going to extinct, leaving only the “digital natives” on this
earth. Nowadays, screenshots are considered as a more convincing evidence
than eyewitnesses, although we know how easy it is to edit a screenshot!
Therefore, it’s not unusual that the debates in trials take place through a
screen which airs hundreds of screenshots rather than eyewitnesses, experts,
etc. Millennials’ contribution to our lifestyle is clearly inevitable. Lately,
a number of English great dictionary, whether American or European, have
added a number of new words that were born out of online reality. “FOMO” is
one of them. British Oxford Dictionary doesn’t even explain that it derives
from an abbreviation (fear of missing out), it goes directly to its meaning:
anxiety that an exciting or interesting event may currently be happening
elsewhere, often aroused by posts seen on social media.
FWIW, the conversation above could be a mathematical calculation or chemistry
or, —while we’re at it— let’s take it as an image! After all, words, letters,
and images are the sign of freewill! The meanings of these signs depend on the
users’ agreement. What can images do? Or, more precisely, what can be done by
the things that are seen today? (Whether they’d be pictures, photographs, or
images) A lot! One of the terrifying answers is that the things that can be
seen can be real! Not only considered as truth, but it can turn into reality.
The last few months have actually been highly unsettling for us in Indonesia.
It’s as if there are only two choices present for us at the moment, feeling
frightened or feeling happy. Follow the crowd or not follow the crowd. Choosing
appears as necessarily being in the middle of one thing and another.
Moreover, it seems that there is no more room to be —simply— neutral. Internet
(and social media) doesn’t even enrich these binary choices. As the generation
of digital migrants, we keep asking why the acts of abbreviating,
making particular codes that are only understood by certain circles, become a
distinctive tendency from the Millenials and Generation Z? Why does this
militaristic quality keep spreading? We might be anxious for no reason. It
also could be the very thing that makes us FOMO. When we get used to using the
word “FOMO”, its antonym was born: “JOMO”. Damn, obviously, we immediately
get back to being worried! How come that it becomes binary again?
Our journey towards organizing this exhibition started from simple questions
regarding various realities of life that Edhi Sunarso (1932-2016) had to face.
How did those realities affect Pak Edhi’s artistic practices? Born into an
ordinary family at that time, it wasn’t unusual that he had to be involved in
various forms of struggles. After the Independence, the war reality ended. We
then entered a period called “Filling in The Independence”. President Sukarno
was fond of using the word perjuangan (struggle) to equalize the reality of
life before and after the proclamation. If the previous was done in order to
achieve independence, then the next should be done to fill it. To fill? With
what? It’s right at this point that this conversation becomes interesting for
us. One of the initial priorities of the Nation was to demonstrate its ability
to be independent to the whole world. Such big gesture was achieved by building
needed infrastructures while having symbolic functions. In other words,
infrastructure that could also indicate our capability to be modern citizens
of the world. As a capital, Jakarta was the center where the experimentation
of “showcasing” our greatness as a new nation took place. International
airports, multilevel crossroads, national monuments, national museums, stadiums,
sculptures, and so on.
In the first two decades of proofing the greatness of this nation, Pak Edhi
was struggling. He was entrusted with the creation of (at least) the first
three monuments in Indonesia. There are many stories and records regarding
the making of these three monuments, both historically and inside our visual
arts history. As a matter of fact, it can be said that Pak Edhi is only known
for making these three monuments, whereas he also created (at least) 11 dioramas
in a number of museums in Java. These dioramas are responsible for: memvisualisasikan
data sejarah [dengan tujuan] untuk memasyarakatkan
nilai-nilai sejarah perjuangan nasional kepada generasi penerus. [Melalui
diorama] Masyarakat dapat melihat dan meresapi peristiwa sejarah melalui
adegan yang digambarkan secara miniatur dengan menampilkan suasana/setting
sesuai dengan kejadian sesungguhnya
(visualizing historical datas [with the
aim of] promoting the values of the national struggle history to the next
generation. [Through dioramas] The people can see and perceive historical
events through scenes that are depicted in miniatures by displaying scenes/-
settings in accordance as the actual events. These dioramas caught our attention
for at least two reasons. First, they don’t try to reach the sky and force
us to look up, but they have the monumental effect in our life as citizens.
How couldn’t they, when almost all of school kids in Jakarta, or those who
visit Jakarta, are required to visit these museums and make assignments about
them (The devils are indeed in the details!). Secondly, more than two decades
after so-called-healthy democracy, our national history—which are visualized by these dioramas— are still the brainchild of a group of uniformed elites—which were written by a single person.
In 2014, when we began initiating conversations with Pak Edhi, we directly
targeted to the process of the making of these dioramas. Our early questions
focused on the transfer of power from Sukarno to Suharto, from the Order that
was called the Old o the order that declared itself as the New. Besides interviews,
we also looked into various documentation of dioramas that were commissioned
by the nation. There are two museum names that startled us: Museum
Ekstrem Kiri (Far-Left Museum) and Museum Ekstrem Kanan (Far-Right Museum).
Both of these museums obviously don’t exist! Apparently, these two names were
only used for the buildings of two museums that we can visit under the name
of Museum Pengkhianatan PKI (Komunis)/Museum of Indonesian Communist Party’s
Betrayal (Communist) , at Lubang Buaya complex, and Museum Waspada Purbawisesa
at The Center of Indonesian Military History complex. This dualism that
keeps on emerging disturbs us. How come that we are only left with two choices?
Sukarno or Suharto? Old or new? Left of right? Long or short? Tall or
short? Right or wrong? Win or lose? How limited the choices that we have!
Moreover, in the last presidential election, we had only two choices! The new
Old or the old New! The new was already elected or the old that was never
elected! There is nothing that is completely new, there is nothing that is
completely old. There is nothing that is truly true, there is nothing that is
true. We immediately get bored! Apparently, these binaries are not only worrying
but also boring! Half-jokingly, we named our digital data storage devices
as: Museum Ekstrem Tengah (Far-center museum). As we digitize and build Pak
Edhi’s archives throughout 2016, we started inviting a number or our artist
friends to take a close look into Pak Edhi’s artistic practices through his
archives. We are certain that our friends must have their own perspectives
and their own way of reading that are different from us who works as a curator,
manager, researcher, and visual art writer. Their life experiences,
visual sensibility, and their expertise will be able to offer a variety of
choices. More choices than the recent two.
This exhibition is an effort to perceive from the closest distance, look thoroughly
and carefully, and question the dioramas that were made by Pak Edhi
under all the ruling regimes that we can imagine categorically. The artists
in this exhibition have track records of works that is interconnected with the
practice of power that affects the lives of the people in various environments
that they choose, in their partisanship. Their artistic practices tend to hack
the realities of life instead of opposing, let alone challenging. The artworks
that you will experience are more than mere visual “statements” of its artists,
these works contain questions, contemplations, even speculations. Naturally,
the forms of these works—whether it’d be frozen or in motion, various
dimensions, various mediums—, our brain will process them as images. Don’t
you forget, these images might not be as they seem. These visual signs are not
necessarily indicating what we want to see. These images are objects that were
depicted, described in a space. These images establish the sensibility of their
makers, although they can also become something that are not necessarily
agreed upon by the artists. Can we hack our own way of thinking? Are we satisfied
with the binary? Could it be there are other choices?
Yogyakarta & Hong Kong,
September 2019
Hyphen —


*) Hyphen— is currently a researcher duo++. It is partially Ratna Mufida and
partially Grace Samboh, with Pitra Hutomo hovering in our hearts and minds.
We constantly try to work together in conducting research on artistic practices
and tries so hard to make publications out of it.

***

Pembukaan/Opening day:
Saturday, October 5th, 2019
4 PM
.
Durasi Pameran/Exhibition duration:
5-26 October 2019

.

Unduh katalog pameran/Download the exhibition catalogue
Di sini/Here