27.04–18.05.2019
(English version below.)
Pengalaman mendengar adalah pengalaman fisik. Pada 2017, saya mengadakan pameran di Kedai Kebun Forum yang judulnya Sebelum Gendang. Pada pameran itu, saya ingin menyampaikan hasil percobaan saya dalam mengamati kejasmanian bunyi dan menampilkan (wujud/) raga bunyi dari sudut pandang lain. Pada 2018, saya berpameran tunggal di Cemeti — Institut untuk Seni dan Masyarakat dengan judul ~IIINNNGGG~ Dalam pameran itu, saya mempertanyakan lagi: Is sound a matter? Does sound matter? Sengaja saya bertanya dalam bahasa Inggris supaya terdengar sederhana sekaligus rumit di saat yang bersamaan. Soalnya, kata matter dalam bahasa Inggris punya dua arti, yaitu ‘bahan’ atau ‘material’; dan ‘yang penting’ atau ‘yang signifikan’. Selain menghadirkan karya-karya baru, saya juga mengadakan serangkaian pengajian mengenai bunyi bersama teman-teman Masjid Jendral Sudirman. Berikut ini adalah penggalan naskah saya dalam Ngaji Bunyi #1:
Kalau dari perspektif fisika, kita bisa mengacu pada kesimpulan bahwa bunyi adalah sebuah energi, bukan zat. Dalam fisika kita mengenal hukum kekekalan energi, yang menyatakan bahwa energi itu tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan, namun, energi bisa diubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lainnya. Seperti listrik yang dihasilkan oleh matahari, angin, uap, atau gas dsb. Berarti, ada kemungkinan untuk menggunakan bunyi sebagai pembangkit listrik, PLTB, Pembangkit listrik tenaga bunyi. [Listrik kemudian membuat pembesaran/ amplifikasi bunyi alat musik menjadi masuk akal.]
Amplifikasi elektronik pernah menjadi perdebatan di kalangan musik karena dianggap sebagai sebuah ancaman dari kemurnian ekspresi manusia. Pertama, ia menciptakan jarak antara manusia dan bunyinya. Dan, kedua, ia dianggap sebagai topeng yang menutupi ketidakmampuan manusia dalam perihal teknik bermusik. Ia juga mengambil alih suara manusia, yang secara otomatis mengambil alih ekspresi, emosi dan subjektifitas. Suara menjadi tempelan, bersifat prostesis, dimediasi oleh mesin, menggoyahkan arti dari niatan, atau autentisitas suara kita. Apa yang kita dengar adalah getaran udara yang sudah diproses secara elektrik, menjadikan bunyi sebagai material dan menjadi sesuatu yang baru bagi tubuh kita.
Bagaimana ia bisa disebut sebagai sound object? Tepat pada 15 Mei 1948, seorang komposer, penulis, teoris, filsuf bernama Pierre Schaeffer juga bekerja sebagai insinyur di Radio France, mengumumkan:
“I have coined the term musique concrète for this commitment to compose with materials taken from ‘given’ experimental sound in order to emphasize our dependence, no longer on preconceived sound abstractions, but on sound fragments that exist in reality and that are considered as discrete and complete sound objects …”Musik kongkrit bisa diartikan sebagai musik riil. Musik nyata. Bukan musik beton, ya! Meskipun kita bisa membuat musik dari beton, tapi ini bukan tentang musik beton. Apa maksudnya dengan musik nyata? Apakah musik-musik sebelumnya tidak nyata? Jenis musik ini dihasilkan dari penggabungan potongan rekaman suara (waktu itu dengan tape kaset) yang diproses sedemikian rupa (dipotong, ditumpuk, didistorsi, diubah kecepatan atau arahnya) kemudian digabungkan menjadi sebuah montase. Materialnya bisa didapat dari rekaman bunyi apapun, seperti kereta api, peluit, suara mesin, suara krincingan dsb. Tapi bagi Schaeffer, musiknya bukan mengenai kereta api atau peluit itu. Ini tentang bunyi. Ini tentang menyimak bunyi dalam pengalaman yang baru sama sekali. Memisahkan bebunyian dari konteks dimana mereka dihasilkan. Perihal ini yang dia namakan acousmatic, yang artinya bunyi dipisahkan dari sumber aslinya. Nah, semakin terpisah ya. Kalau tadi autentisitas lewat elektronik itu dianggap berkurang, dengan adanya teknologi perekaman, bunyi justru terpisah dari konteks di mana bunyi itu dihasilkan.
Persiapan pameran ini membawa saya pada artikel Slamet Abdul Sjukur yang saya cantumkan di ruang pamer (bisa diakses di sini). Dalam upayanya mengajukan definisi musik kontemporer, ia menelusuri perkembangan musik selama nyaris satu abad. Sementara, paruh pertama Ngaji Bunyi #1 adalah upaya saya untuk melintasi praktik seni yang berangkat dari penjelajahan perihal bunyi. Futurisme dan, kemudian, Schaeffer sama-sama menjadi titik berangkat kami. Artikel ini meyakinkan saya bahwa mengenali ragam praktik seni yang mendahului apa yang saya kerjakan sekarang ini adalah langkah yang wajar sekaligus perlu. Pameran ini adalah pengejawantahan rupa dari pelintasan tsb. Lebih khusus lagi, saya melihat praktik- praktik beragam disiplin seni yang punya persentuhan dengan ruang pamer sebagai gelanggangnya seni rupa di sekitar saya, di Jogja, di Medan, di Solo, di Surabaya, di Bandung, di Jakarta. Sumber- sumber yang mendasari keputusan (artistik) yang saya tempuh juga saya hadirkan di sini dengan harapan bisa memicu rasa penasaran untuk penelusuran lainnya.
— 21 April 2019, Togar —
***
Melintas bunyi/Tracking Sound
Pameran tunggal/Solo exhibition of Julian Abraham “Togar”
27.04–18.05.2019
.
Pembukaan pameran/exhibition opening
27 April
16.00 WIB
Pertunjukan audiovisual/audiovisual performance
27 April
20.00 WIB
Konser/Concert
Alur bunyi
Julian Abraham “Togar” & Nissal Berlindung
dengan kurator/curated by Harsya Wahono (Divisi 62)
Goethe-Institut Indonesien, Jakarta
8 May
20.00 WIB
Lokakarya/workshop
Merakit bunyi/Assembling sound
Aksara Kemang
12 May
15.00-18.00 WIB
Ngaji Bunyi #1 – Is sound a matter? Does sound matter?
Bisa diakses di kanal/Accessible in the channel of Masjid Jendral Sudirman di sini/here
Unduh kartu pos/Download postcard
Di sini/here
***
Listening is indeed a physical experience. In 2017, I held an exhibition titled Sebelum Gendang (Before the drum) at Kedai Kebun Forum. Through that solo, I wanted to present several experiments in observing the physicalities of sound with different forms. In 2018, I did another solo at Cemeti — Institute for Art and Society titled ~IIINNNGGG~ in which I questioned: Is sound a matter? Does sound matter? I deliberately pose these questions in English because of this double entendre. Also because this question sounds simple while at the same time, complicated seeing the word matter has multiple meanings. The word can mean ‘a material’ or ‘a substance’ that is distinct from mind or spirit; as well as ‘holding important or significance’. Other than exhibiting new works, I also worked with friends from Masjid Jendral Sudirman (General Sudirman Mosque) in holding a series of pengajian (studies). Below is an excerpt of my session, Ngaji Bunyi #1:
From a physics perspective we can assume the conclusion that sound is energy, not matter. In physics, we know the law of energy conservation that states energy cannot be created or destroyed but instead can transfer from one form of energy to another. Like electricity produced from sun, wind, steam, gas etc. So its possible to use sound to create electricity – sound energy. [Not much longer, electricity became the foundation of sound amplification devices – we now call them as speakers or sort.]
So amplification has become a subject of debate in music circle. Because its often viewed as a type of threat to the purity of human expression and the view that talent or genius is innate. Firstly, amplification creates a distance between human and sound. Secondly, amplification is seen to mask human inability – or the lack of musical technique. It also takes over the human voice, and automatically takes command over its expression, emotion and subjectivity. Voice becomes an appendage, like a prosthesis mediated by a machine and destabilising the meaning and reality or authenticity of our voice. What we hear is the air vibrating after being electronically processed making sound material and becoming something entirely new to our bodies.
Could we refer to it as a sound object? On May 15, 1948, an announcement was made by a composer, writer, engineer, theorist and philosopher by the name of Pierre Schaeffer who was working as an engineer at Radio France, Paris:
“I have coined the term musique concrète for this commitment to compose with materials taken from ‘given’ experimental sound in order to emphasize our dependence, no longer on preconceived sound abstractions, but on sound fragments that exist in reality and that are considered as discrete and complete sound objects …”Musique Concrete – meaning real music. True music. Not music made from concrete. Because even if we make music from concrete, but it’s not about music made of concrete, but about true music – so what do we mean by true music? What was music before it if it wasn’t true? This type of music was produced using a combination of a number of voice recordings which at that time used a cassette tape, were cut, stacked, distorted, the speed was changed, or played backwards and edited into a montage. But for Schaeffer, the music isn’t about the train or the whistle, it’s about sound. To him, this about listening to sounds in a completely new way. Separating sounds from the context they were created. This is what he calls Acousmatic, which means sound that is separated from its original source. Well, it’s in the process of separating. If authenticity was deemed to be compromised by the onset of electric with the prescence of recording technology, sound would be separated from the context in which the sound was created.
During the preparation of this exhibition, I found this article of composer Slamet Abdul Sjukur that I am referring in the introduction of this exhibition (accessible in bahasa here). In his proposal for a definition of contemporary music, he explored the dynamics of musical genres for almost a century. Much like the first half of my session, Ngaji Bunyi #1, where I was tracking art practices that depart from sound exploration. We both began with Futurism and, later on, continued to Shaeffer. This article convinced me that exploring practices that have been done before my time is natural and healthy. This exhibition is an articulation of such tracking. Particularly on multi-disciplinary practices that have some sort of presence within the gallery as the one of the main stages for (visual) art around me, in Jogja, in Medan, in Solo, in Surabaya, in Bandung, in Jakarta. I am also presnting the resources that had become some sort of a foundation for my (artistic) decisions, with the hope that these things can inspire another reading.
— 21 April 2019, Togar —