03–30.03.2019
Kurator: Dwihandono Ahmad
(English excerpts below.)
***
Posisi individu dalam Seni Rupa Islam hari ini
oleh Dwihandono Ahmad
Kompleksitas kehidupan muslim di Indonesia kini tengah bergeliat akibat peningkatan aktivitas politik umat muslim dan berbagai isu yang diperkeras media sosial. Kompleksitas ini, sedikit banyak juga mempengaruhi kehidupan seniman dan karyanya. Dinamika sosio-politik hari ini mendorong seniman untuk tidak lagi fokus pada persoalan keindahan dan estetika. Jika demikian, ke arah manakah wacana pembahasan seni rupa Islam bisa dibahas? Jika kita hendak berupaya untuk mencari arah baru, mau tidak mau, kita harus memeriksa praksis dalam medan seni rupa kontemporer hari ini dan gagasan-gagasan, baik dari kebudayaan Barat maupun kebudayaan Islam yang mengakarinya.
Gejala yang bisa kita amati pada permukaan praksis medan seni rupa adalah lazimnya keberadaan entitas “pengarang” baik secara individu ataupun kolektif. Meski proses pembuatan suatu karya seni melibatkan berbagai pihak lain selain senimannya, pada akhirnya medan seni rupa kontemporer akan tetap mengutamakan nama entitas “pengarang” karya tersebut.
Kondisi ini tak lepas dari sejarah perkembangan seni rupa barat menjadi liberal arts dan kaitannya dengan liberalisme sebagai sebuah metode, gagasan, dan kebijakan yang bertujuan untuk menyediakan individu dengan kebebasan dan kemerdekaan sebesar mungkin. Karena didasari oleh individualisme, Liberalisme bertujuan untuk menjaga hak-hak individu, seperti hak untuk berpendapat dan berkarya. Meski seni rupa Barat sudah tidak lagi secara khusus membahas keindahan, liberalisme yang bersumber pada individualisme ini masih dominan dalam praksisnya. Seni rupa kontemporer di Barat, sebagai bagian dan kontinuitas liberal arts, berperan sebagai “panggung” untuk menunjukkan dan mempertahankan keberadaan hak-hak individu dalam masyarakat di Barat.
Lantas bagaimana gagasan-gagasan dari dunia Islam dalam memandang individu? Sebenarnya tidak ada gagasan abstrak semacam “hak-hak individu” yang muncul dalam pemikiran Islam. Doktrin normatif Islam tidak mengenal keberadaan nilai independen dari sebuah kebenaran universal yang objektif: Tidak satu hal pun bernilai baik atau buruk dengan sendirinya, kecuali ditetapkan oleh Allah. Namun bukan berarti Islam tidak mengakui hak individu sama sekali, sebaliknya Islam mengakui hak-hak kepemilikan seperti hak anak yatim, fakir miskin, ahli waris, dan upah bagi pekerja yang telah ditetapkan oleh Allah.
Penekanan pada pentingnya individu dalam perkembangan gagasan keislaman muncul dari gerakan-gerakan sufi yang lebih fokus pada pengalaman-pengalaman personal dan introspeksi diri. Semenjak abad ke-12, Tasawuf* menjadi sebuah ajaran yang populer sehingga gagasan personal menjadi fenomena yang lumrah dalam kehidupan beragama. Pendekatan Tasawuf telah menyediakan ajaran dan nilai yang lebih humanis ketimbang pendekatan scriptualis yang kaku.
Dengan mengarahkan pembahasan seni rupa Islam ke persoalan individu, kita berpeluang untuk menjembatani dua gagasan besar (Barat dan Islam) ditengah maraknya aksi populisme dan isu politik identitas yang bernuansa Islami. Mengingat kondisi praksis seni rupa kontemporer yang masih mengedepankan entitas “pengarang” dan adanya jejak-jejak gagasan individualis dalam sejarah peradaban Islam, kita seharusnya bisa memberi kesempatan bagi pembacaan-pembacaan karya seni rupa Islam kontemporer pada persoalan individu.
* Tasawuf adalah ajaran (cara dan sebagainya) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-Nya.
***
Muslim Dzimmi
oleh Anggawedhaswara
Terlahir dalam sebuah keluarga dengan ibu “Nahdliyin” dan ayah “Nasionalis” secara tidak langsung menjadikan saya sebagai seorang yang mengimani “keindonesiaan”. Nyanyian “Hubbul Wathon Minal Iman” bahkan pernah bergema dalam suatu acara pernikahan dalam keluarga saya. Belum lagi menjadi seorang pandu sejak kelas 4 sekolah dasar menjadikan saya yakin bahwa menjadi seorang Indonesia adalah pilihan yang terbaik.
Seiring waktu, mengaji, membaca buku dan bersinggungan dengan banyak kawan dari berbagai macam latar belakang gagasan keislaman, membuat saya berfikir kembali tentang “keindonesiaan”. Pada titik ini saya meyakini bahwa menjadi seorang muslim bukan hanya melulu soal ritual ibadah belaka. Lebih dari itu, persoalan “nationhood” juga diatur. Bagaimana bernegara, bagaimana hukum syariah ditegakkan, bagaimana perangkat dalam bernegara. Hingga pada persoalan mana muslim, mana kafir.
Dalam membahas tentang kafir, Islam membaginya menjadi 2; Kafir Dzimmi dan Kafir Harbi. Kafir Dzimmi adalah kafir yang berdamai dengan negara islam –kemudian saya akan menggunakan istilah “daulah” untuk membedakan dengan bentuk negera lainnya-, dan sebagai bukti ketundukannya membayar Jizyah (upeti/pajak) kepada daulah yang karenanya kemudian daulah harus menjamin keselamatannya dan kebebasannya dalam beribadah sesuai dengan keyakinaan agamanya masing-masing. Sedangkan Kafir Harbi adalah kafir yang secara terang-terangan dan nyata menyatakan memberontak kepada daulah, termasuk didalamnya menolak membayar jizyah.
Hal diatas memicu satu pikiran bahwa menjadi muslim di negara yang tidak menerapkan sistem islam, bisa jadi dibagi menjadi 2 kelompok itu. Muslim Harbi dan Muslim Dzimmi. Meski sebetulnya dalam istilah islam, tidak ada yang istilah tersebut. Ini semata reka-rekaan saya. Sebagai muslim yang “tidak mampu” menegakkan syariat di negara Indonesia, satu-satunya pilihan adalah menjadi Muslim Dzimmi. Muslim yang taat pada peraturan perundangan di dalam negara kufur, salah satu bentuk ketaatannya adalah mungkin dengan membayar pajak dan serangkaian aturan lainnya. Yang oleh sebab itu negara harus menjamin kemerdekaan saya dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan saya.
Konsep Muslim Dzimmi ini bisa jadi adalah jalan tengah di negara Indonesia yang tengah dihantui oleh masalah “penegakan syariah”. Hal ini juga harusnya menjadi satu paket dengan kebijakan menyoal warga negara yang berniat keluar dari “keindonesiaannya” dan bergabung daulah. Siapapun yang sudah tidak cocok dengan bentuk negara ini dan berniat bergabuang dengan “daulah” seharusnya dipersilahkan saja. Secara sederhana saya membaca ini tak ada bedanya dengan pilihan seorang Anggun C. Sasmi untuk melepas kewarganegaraannya dan memilih untuk menjadi warga negara lain. Atau para pelajar Indonesia di Rusia pada era 60-an yang tidak dapat kembali ke Indonesia karena dituduh komunis.
Peristiwa pemulangan jamaah “umroh” di Turki yang akan bergabung dengan IS, justru menjadi persoalan tersendiri. Selain menghabiskan biaya negara, karena menggunakan anggaran negara untuk proses deportasi dan program deradikalisasi, tentunya bukan tidak mungkin mereka akan menjadi bibit-bibit radikalisme di dalam negeri.
Menjadi seorang muslim di Indonesia hari ini bukanlah perkara mudah. Peristiwa “Arab Spring” yang muncul di akhir 2010 turut berimbas pada berkembang pemahaman bahwa “penegakan syariah” adalah upaya-upaya untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Lebih daripada itu puncaknya adalah penegakan khilafah, yang di Indonesia isu ini didengungkan oleh organisasi sosial kemasyarakatan Hizbut Tahrir Indonesia. “Partai” yang berafiliasi dengan Hizbut Tahrir di berbagai belahan dunia. Diperparah dengan dideklarasikannya Islamic State di Suriah pada 2014 oleh sekumpulan pasukan yang pada tahun 2004 bergabung dengan Al-Qaeda yang berjuang di wilayah Irak dan Syam –Suriah dan sekitarnya- yang kemudian hari masyarakat internasional lebih mengenalnya dengan sebutan ISIS—Islamic State of Irak and Syria.
Penangkapan seorang penjual es kelapa muda yang mengenakan pakaian bertuliskan syahadat yang menjadi simbol dalam bendera ISIS pada 2015 adalah salah satu contoh bagaimana negara sangat waspada dalam berkembangnya pemahaman masyarakat atas “khilafah” dan isu-isu di seputarannya –penegakan syariat dan lain sebagainya-. Puncaknya adalah pencabutan status badan hukum ormas Hizbut Tahrir Indonesia oleh Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum Kementrian Hukum dan HAM sebagai tindak lanjut dari Perpu No 2 tahun 2017. Dengan dalih bahwa Kemenkumham memiliki kewenangan legal administratif dalam aturan pengesahan perkumpulan atau kemasyarakatan (ormas), khususnya yang berseberangan dengan ideologi dan hukum negara di Indonesia.
Membentrokkan keindonesiaan dan keislamanan hari ini sudah mirip dengan membentrokkan Pancasila dan Komunisme di era 65-an. Orang yang berusaha memperjuangkan syariat islam disebut kaum radikal (intoleran), sebaliknya muslim yang pancasilais disebut sebagai kaum munafik. Padahal bisa jadi ada jalan tengah diantara dua titik ini. Bisa jadi pilihannya adalah Muslim Dzimmi.
—Cimareme, 15 September 2018—
***
Saya Muslim/I am a Muslim
Pameran tunggal/Solo exhibition of Anggawedhaswara
dengan kurator/Curated by Dwihandono Ahmad
.
The complexity of Muslim life in Indonesia is now twisting due to the increase in
Muslim’s political activity and various issues that are hardened by social media.
This complexity, in a way, also affects the lives of artists and their works. Today’s
socio-political dynamics encourage artists to no longer focus on issues of beauty
and aesthetics. With that understanding, in what direction the discourse on the
discussion of Islamic art can be discussed?
The discussion of Islamic art can lead to individual problems, amid the rampant
action of populism and the issue of identity politics. Given the praxis of
contemporary art that still puts forward the “author” entity and the traces of
individual ideas in the history of Islamic civilization, we should be able to provide
opportunities for the readings of works of contemporary Islamic art in individual
artists and the social problems they face.
.
Pembukaan pameran/exhibition opening
Sabtu/Saturday, 02.03.2019
16.00
Waktu pameran/Exhibition duration
03-30.03.2019
11.00-20.00
(kecuali Minggu, Senin, dan Hari Libur Nasional/except for Sunday, Monday, and Public Holidays)
Unduh kartu pos pameran di sini
.