SINEMA BAWAH TANAH #1: Kamila Andini

Percakapan yang intens antara teori dan praktik dalam sinema sesungguhnya telah dimulai sejak 1920an di Rusia dengan figur-figur yang akrab dalam sejarah, sebutlah Sergei Eiessenten, Pudovkin, Vertov, periode ini lebih kita kenal sebagai periode formatif. Gelombang berikutnya terjadi pasca PD-II yang lebih memusatkan diri pada persoalan politik dan estetika realisme, mise-en-scene dan auterisme. Pada 1950-60an kita bisa menyaksikan migrasi kritikus film menjadi pembuat film, sebutlah figur-figur seperti Truffaut, Godard, Rohmer, atau yang kita kenal sebagai gelombang baru di Perancis atau di Inggris melalui figur-figur seperti Lindsay Anderson dan Karel Reisz.

Tendensi ini mulai bergeser pada 1970an, masuknya kajian sinema ke dalam akademi telah memicu kemunculan model baru penjelajahan teoritik yang berasal dari Marxisme, semiotik dan psikoanalisa. Tendensi baru ini memang membuka ruang percakapan yang melimpah secara intelektual, namun hingga hari ini masih menyisakan jurang antara teori dan praktik. Kritik dan kajian sinema, bergeser dari perspektif pembuat film sebagai agensi kreatif, menjadi murni akademik yang miskin nilai aplikatif.

Polarisasi ini memang tidak terlalu terasa di Indonesia, mengingat sejarah film kita baru di mulai sejak kemerdekaan. Meskipun kita memiliki figur semacam D. A Peransi, penulis yang juga pembuat film, namun belum ada penelitian tentang seberapa jauh sebenarnya pengetahuan teoritiknya berpengaruh terhadap praktik-praktik film pada masanya? Barangkali pertanyaan serupa masih relevan untuk kita ajukan, mengingat meriahnya pertumbuhan industri, komunitas, sekolah dan festival film di Indonesia saat ini telah membuka keran bagi munculnya tulisan dalam rupa kritik maupun kajian sinema yang tertampung dalam karya-karya akademik dan jurnal-jurnal baik cetak maupun daring. Meskipun kita tahu bahwa kajian dan kritik masih memandang film sebagai teks dan makna. Masih jarang yang memandang film sebagai tubuh yang hidup dan dihidupi oleh relasi daya-daya afektif dalam gerak, ruang dan

Program perdana Sinema Bawah Tanah, menghadirkan pemutaran dan diskusi film-film karya Kamila Andini. Pemilihan pembacaan karya Kamila Andini didasari oleh beberapa pertimbangan, pertama, Film-filmnya tidak hanya memperoleh penghargaan di berbagai festifal, namun juga telah memantik penulisan kritik dan kajian di Indonesia. Kedua, signature dalam film, dapat kita tandai dari cara pembuat film dalam memperlakukan medium. Dari dua pertimbangan tersebut, kita dapat memeriksa, apakah kritik dan kajian yang telah dilakukan berkorelasi dengan apa yang ditawarkan oleh pembuat filmnya? Atau sebaliknya, apakah terdapat konsistensi dari cara pembuat film dalam memperlakukan medium sehingga semua filmnya dapat kita lacak sebagai sebuah body of works? Jawaban dari pertanyaan tersebut barangkali dapat sedikit membuka jalan untuk menjawab pertanyaan berikutnya, apakah kritik dan kajian film memiliki kontribusi terhadap pembuat film? Atau apakah hanya menjadi jembatan antara film dan penonton? Atau bahkan bukan kedua-duanya?

Mariiiii….!!

Rubanah & Ideogram