24.09 – 29.09.2018
Riar Rizaldi
(English version not yet available.)
Aparatus.
Ada pergeseran signifikan dari praktik artistik yang dibangun oleh Duto Hardono beberapa tahun belakangan; hilangnya kehadiran aparatus dalam setiap presentasinya. Penggunaan objek-objek temuan dan media yang obsolet semakin absen, sekelompok manusia yang Duto sebut sebagai ‘aktor’ menggantikannya. Aparatus—atau dalam kasus Duto, media-media (yang hampir) obsolet yang biasa ia gunakan—secara struktur terlihat begitu kompleks dengan beragam latar belakang teknis dan desain, namun secara fungsi amatlah sederhana, berfungsi sebagai alat bermain. Berbeda dengan apa yang Duto kerjakan sekarang lewat sebuah instruksi yang juga ia bangun melalui text score, secara struktur hal ini sederhana, namun dalam praktiknya sangatlah kompleks, bertumpu pada komunikasi yang berakhir menjadi sebuah permainan. Mungkin, bisa saja saya salah, Duto sedang bermain lewat komunikasi yang mengajak pengunjung lewat aktor-aktornya menjadi partisipan aktif dalam karyanya—berbeda dengan karya-karya sebelumnya dimana keterlibatan lebih terasa artifisial satu arah, nyaris menegasi keterlibatan komunikasi verbal antara karya dan pengunjung.
Situasi.
Sirkulasi ekonomi juga fetisisme terhadap komoditas semakin lama semakin meninggalkan kebiasaannya untuk mengakumulasi benda yang berwujud, hingga mencapai sebuah titik dimana Hukum Moore bahkan dianggap tidak relevan lagi. Dalam artian, kebiasaan mengoleksi keberwujudan kini semakin mengerucut menjadi mengoleksi memori lewat data maupun ingatan. Hal ini pula yang saya anggap sedang diamplifikasi oleh Duto, membangun sebuah situasi yang ephemeral yang secara ironis justru mungkin kekal dalam memori. Para aktor di sini sedang membangun sebuah situasi dan interaksi yang nantinya dapat dikumulatifkan sebagai komoditas baru berbentuk memori—bukan jasa maupun barang. Menjadi menarik ketika pada satu saatnya nanti, semua hal yang berhubungan dengan transaksi moneter dalam ragam pasar seni hanyalah berbasis memori, situasi dan interaksi. Komoditasnya tidak berwujud. Persetujuan hanya disepakati lewat verbal tanpa kenotarisan. Pada akhirnya karya sendiri dapat dikirim ke berbagai institusi di belahan dunia tanpa repot mengurusi birokrasi ATA Carnet dan kehadiran sang seniman. Secara epistemologi menjadi sedikit lebih egaliter.
Bunyi.
Hilangnya kehadiran objek dari perkembangan karya-karya Duto bukan berarti meleburkan fenomena fisika yang kerap kali muncul dalam kekaryaannya; elemen bunyi serta konsep dibaliknya. Dengan menggunakan istilah seperti ‘variasi’ dan ‘improvisasi,’ Duto seakan mengukuhkan posisinya dalam eksplorasi kemungkinan-kemungkinan lain dari bunyi yang dapat dihasilkan oleh para aktornya. Dengan praktik yang sedikit banyak serupa dengan komposisi—instruksi maupun score menjadi bagian di dalamnya—menjadi menarik untuk melihat bagaimana para aktor mengintepretasi instruksi yang Duto berikan dalam kajian presentasi bunyi dan akustik ruang. Praktik ini menempatkan bunyi sebagai hal yang berada dalam spektrum abu-abu, tidak sepenuhnya dikomposisi namun juga tidak hadir sebagai sebuah murni improvisasi. Bunyi yang dihasilkan sang aktor ketika membaca sobekan koran hingga dering notifikasi dari gawai masing-masing secara kurang ajar juga dapat diartikan sebagai instrumen yang sedang Duto mainkan. Lewat pemahaman instrumen ini, bisa jadi apa yang sedang Duto lakukan adalah aplikasi Hobbesian ‘manusia sebagai mesin’ dalam ruang akustik yang nyata— memanifestasikan ide tentang gentingnya ketenega-kerjaan dan relasi kuasa dalam proses kreasi.
Teks.
Bukan tidak mungkin jika teks saya ini nantinya dapat dibacakan dengan lantang oleh sang aktor seraya memberikan autentifikasi diakhirnya lewat sebuah judul yang nakal dan embelembel “Duto Hardono. 2018.”
Riar Rizaldi, tentang Kata² oleh Duto Hardono
Hong Kong, 2018
Unduh kartu pos di sini
*******